by Yandrie Soe, Kompasiana, 15 April 2013
Penolakan/reposisi terhadap Ujian Nasional semakin santer terdengar, terutama saat menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional. Berbagai contoh bentuk penilaian kelulusan dari beberapa negara, teori-teori dari beberapa pakar, gejala dan akibat yang ditimbulkan dari Ujian Nasional, menyebabkan penolakan maupun permintaan reposisi terhadap Ujian Nasional pun semakin terlihat keniscayaannya. Namun, begitu besarkah dampak negatif dari Ujian Nasional ini? Jika benar demikian adanya, mengapa Pemerintah maupun ahli-ahli pendidikan di Kementrian terkait tidak meng-iya-kan penolakan ini?
Evaluasi terhadap pembelajaran dan ketercapaian kompetensi siswa dalam bentuk ujian akhir telah dilaksanakan sejak tahun 1965 dengan beberapa kali perubahan nama. Diawali dengan sebutan Ujian Negara, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, hingga Ujian Nasional sekarang ini. Pada tahun 2005, mulai diberlakukan nilai minimal kelulusan pada Ujian Akhir Nasional. Sejak saat itu, semakin marak bentuk penolakan, istighosah, doa bersama, ritual tahunan lainnya, eksloitasi kecurangan dan ketidak-jujuran, dan bentuk lainnya. Tidak ada yang salah dengan melakukan doa dan ibadah bersama lainnya dalam rangka menghadapi Ujian Nasional, namun jika pelaksanaannya karena ketakutan terhadap UN, dan tetap dibarengi dengan ketidak-jujuran secara berjamaah pada pelaksanaan UN, maka ibadah tersebut menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Bahkan akan semakin menyudutkan UN sebagai penyebab utama dari segala dampak yang ada.
Bentuk Pilihan Ganda adalah yang terbaik (?)
Tujuan utama dari suatu penilaian/evaluasi dari suatu proses pembelajaran adalah memperoleh data yang valid, reliable, dan berguna tentang perkembangan peserta didik (Miller, 2009). Diperlukan penentuan terhadap kompetensi apa yang akan diukur juga bagaimana cara mengukur dan menilainya. Bentuk tes pilihan ganda yang digunakan pada Ujian Nasional merupakan salah satu bentuk tes objektif. Dikatakan objektif karena memiliki satu jawaban yang benar atau yang terbaik sehingga penilaian pada bentuk tes ini didasarkan pada objektifitas hasil kerja peserta tes. Berbeda dengan bentuk tes non-objektif, seperti uraian bebas dan unjuk kinerja yang tidak memiliki satu jawaban yang paling benar sehingga penilaian terhadap bentuk tes ini memungkinkan subjektifitas yang tinggi dari yang menilai (penyekor).
Selain pilihan ganda, ada beberapa contoh lain dari jenis tes objektif, misal benar-salah, mencocokkan, melengkapi dan uraian singkat. Dibandingkan dengan tes objektif lain, pilihan ganda memiliki beberapa kelebihan, antara lain (Miller, 2009) :
1. Adanya alternatif jawaban membuat ambiguitas dan ketidakjelasan seperti yang biasa muncul pada tes jawab singkat dapat dihindari.
2. Dibandingkan dengan tes benar-salah, tes pilihan ganda membuat siswa harus tahu jawaban yang benar (bukan hanya sekedar tahu yang salah tanpa tahu kebenarannya).
3. Memungkinkan kita untuk mengukur kemampuan pemahaman siswa (dengan menanyakan tentang alasan terbaik, metode terbaik, maupun interpretasi terbaik).
4. Item soal dianggap lebih reliabel dibanding item tes benar-salah.
5. Dibandingkan dengan tes mencocokkan, tes pilihan ganda tidak membutuhkan topik yang homogen dalam jumlah yang relatif banyak.
6. Relatif terbebas dari response set.
7. Dengan menggunakan beberapa alternatif yang masuk akal akan membuat hasil tes dapat dipertanggungjawabkan untuk didiagnosis (kecenderungan jawaban salah yang dipilih oleh siswa mengindikasi adanya ketidakpahaman yang membutuhkan koreksi).
Bentuk tes pilihan ganda dapat mengukur kompetensi kognitif yang lebih tinggi dibandingkan bentuk benar-salah, mencocokkan, maupun bentuk melengkapi. Namun untuk kompetensi yang lebih kompleks sepeti kemampuan memformulasikan masalah, mengorganisir, mengintegrasi, analisis, menulis, komunikasi, dan interpretasi data akan lebih cocok menggunakan bentuk tes unjuk kerja seperti uraian bebas, portofolio, atau dalam bentuk produksi seperti karya ilmiah, makalah, software, maupun hardware. Namun bentuk tes unjuk kerja ini tidak dapat mengukur subjek kompetensi yang lebih luas dan detail. Beda dengan pilihan ganda yang dapat mengukur lebih banyak kompetensi dan indikator apalagi dengan begitu banyak kompetensi yang dipelajari selama 3 tahun di sekolah. Selain itu, bentuk tes ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama dalam penilaian/penyekoran dan juga tergolong unreliability of scoring atau memiliki subjektifitas yang tinggi dalam penilaian.
Berdasarkan lampiran Permendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, begitu banyak standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh lulusan tiap jenjang studi. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa bentuk pilihan ganda merupakan bentuk tes yang sangat mungkin dilakukan untuk mengukur ketercapaian siswa terhadap banyaknya kompetensi dasar yang disyaratkan. Patut dicatat, bahwa kesimpulan yang kita dapatkan di sini adalah bahwa UN dengan bentuk pilihan ganda merupakan yang sangat mungkin (baca: terbaik) untuk mengukur ketercapaian siswa, belum pada kesimpulan sebagai penentu kelulusan.
Sekolah, guru, peserta didik dapat dipercaya (?)
Tak dapat dipungkiri, desentralisasi pendidikan memiliki beberapa dampak negatif. Begitu banyak sekolah negeri dan guru yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga pelaku-pelaku pendidikan tersebut tidak dapat bekerja secara independen. Sekolah dan guru menjadi tidak kreatif dan bergantung pada pemerintah. Akibat hirarki kepemimpinan tersebut menyebabkan ada hubungan ‘kepatuhan, ketakutan, dan ketergantungan’ hingga mampu men-degradasi nilai kejujuran dalam interaksi sosial bangsa ini. Perilaku ‘asal bapak senang’, diduga menjadi marak dalam rangka menyambut hadirnya UN. Segala cara dilakukan. Struktur vertikal dari Gubernur hingga guru, dengan garis “komando” yang samar, menyebabkan pen-degradasi-an nilai kejujuran seakan-akan suatu kewajiban untuk menyelamatkan anak bangsa. Dan hal ini semakin diperparah dengan pandangan dari orang tua peserta didik dan masyarakat terhadap hasil UN dari suatu sekolah. Jika hasil buruk, sesuai dengan iklan salah satu instansi pemerintah, ‘Apa Kata Dunia?’. Selayaknya, semua penelitian dan argumentasi yang menggunakan data hasil ketidak-jujuran secara otomatis tak dapat diakui ketepatannya. Namun anehnya, dengan alibi berpikir positif, kita semua meng-iya-kan kepura-puraan itu dan mencari-cari alasan, bukan untuk membenarkan, tapi untuk hidup bersama ketidak-jujuran itu.
Bagaimana dengan sang peserta didik? Tidak dapat dihindari, merekapun turut dilibatkan para orang dewasa yang disebut pelaku pendidikan itu. Maka pen-degradasi-an nilai kejujuran pun diwariskan pada peserta didik. “Mari, kita bersama-sama tidak jujur”. Jujur dan tidak jujur memiliki perbedaan yang tipis, hanya dibedakan pada tujuan akhir. Tidak ada lagi nilai kejujuran pada tataran niat dan proses (pelaksanaan). Menyontek itu baik jika tujuannya adalah untuk kelulusan. (sebagai catatan, sudahkah menonton film dokumenter Temani Aku Bunda?)
Jika kita mengamini situasi di atas, apakah wacana kelulusan yang ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan bisa dijamin lebih valid, reliabel dan terpercaya daripada pelaksanaan yang distandarisasi secara nasional? Tentu saja jawaban akan pertanyaan ini akan berbeda-beda. Dan tulisan inipun bukan untuk men-judge, namun sebagai wacana perbandingan.
UN sebagai penentu kelulusan (?)
Dalam Permendikbud no. 3 tahun 2013 Bab II tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan tertulis bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan setelah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lulus UN. Ternyata, UN bukanlah satu-satunya syarat lulus dari satuan pendidikan. Pada pasal selanjutnya terdapat penjelasan tentang syarat-syarat tersebut, termasuk pembobotan 60% dari UN dan 40% dari nilai S/P/MK yang diuji sebagai kriteria Nilai Akhir kelulusan, nilai rata-rata dari semua NA adalah 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.
Apakah ada yang merasa berat dengan syarat kelulusan lainnya selain lulus UN? Secara pribadi, belum pernah mendengar keluhan tersebut. Dapat dimaklumi, karena syarat kelulusan selain lulus UN dilakukan di masing-masing satuan pendidikan. Dengan semangat yang sama pada proses pen-degradasi-an nilai kejujuran, maka syarat kelulusan selain UN bukan merupakan suatu hambatan.
Mari kita perhatikan sejenak perhitungan kelulusan tersebut. Dengan asumsi bahwa semua peserta didik memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran, lulus ujian S/M/PK untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai minimal 7,5, maka tiap peserta didik hanya perlu menjawab 17 soal dengan benar dari 40 soal yang diberikan. Tidak perlu menjawab benar hingga setengah dari keseluruhan soal.
Apakah itu suatu hal yang mustahil setelah pembelajaran selama 3 tahun? Patut diingat bahwa kompetensi dan kemampuan yang dapat diukur dari soal pilihan ganda bukanlah kompetensi dan kemampuan kompleks seperti yang telah dibahas sebelumnya. Jika demikian adanya, ketakutan terhadap UN merupakan suatu hal yang berlebihan. Apalagi hingga mengadakan pembelajaran berbasis bimbingan tes selama satu semester sebagai persiapan menghadapi UN di sekolah.
Guru dan Sekolah sebagai penyebab utama (?)
Apakah perlu reposisi terhadap UN yang merupakan penentu kelulusan (katanya) menjadi hanya sekedar alat pemetaan terhadap kondisi pendidikan di Indonesia dengan bentuk sampling, masih perlu untuk dilihat lebih jauh lagi pada akar permasalahan yang sebenarnya. Memang benar bahwa di beberapa negara telah meniadakan ujian standar sebagai penentu kelulusan. Namun, dengan pembagian 60% pada hasil UN (penilaian akhir) dan 40% dari S/P/MK sebagai bentuk penilaian proses, kiranya perlu juga diapresiasi sebagai bentuk pengakomodiran dan fleksibilitas dari pemerintah terhadap wacana penolakan dan anti UN.
Berdasarkan penelitian Prof. John Hattie dari Universitas Auckland dalam presentasi Mae Chu Cang (Bank Dunia), guru merupakan faktor penting dalam perkembangan peserta didik (30%). Masih dalam presentasi tersebut, disebutkan bahwa guru yang profesional dapat meningkatkan kemampuan siswa saat Ujian Nasional menjadi 90% setelah 3 tahun bersekolah. Sedangkan guru dengan kualitas yang rendah malah menurunkan kemampuan siswa menjadi 37%.
Selain itu, dalam laman kemdiknas.go.id, Mendiknas menyatakan bahwa KTSP hanya mengakomodir tidak lebih dari 70% kompetensi yang diujikan pada studi global seperti PISA, TIMSS dan PIRLS. Namun, dengan kompetensi sebanyak 70% yang telah diajarkan, ternyata tidak mampu meningkatkan peraihan rata-rata dalam studi-studi tersebut, bahkan pada studi TIMSS tahun 2011, Indonesia hanya memperoleh 43% pada soal kategori low, 15% pada intermediate, 2% pada soal kategori high dan 0% pada soal kategori advanced. Dapat disimpulkan bahwa kelemahan itu bukan hanya pada terlingkupinya semua materi/kompetensi yang diujikan pada studi internasional pada kurikulum nasional kita, namun lebih pada proses pembelajaran juga termasuk kompetensi guru dan metode pembelajarannya.
Diperlukan metode pembelajaran yang dapat menghasilkan pembelajaran bermakna bagi siswa hingga siswa mampu berpikir kritis, kreatif, dan memiliki kemampuan pemecahan masalah (HOTS=High Order Thinking Skills). Menurut Ausubel, pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif peserta didik. Beda belajar bermakna dengan belajar hafalan adalah pada belajar hafalan, peserta didik tidak mengaitkan informasi baru tersebut dengan konsep yang relevan yang telah dia miliki. Pembelajaran bermakna lebih lama tersimpan dalam struktur kognitif daripada hafalan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru harus berusaha memberi makna pada setiap informasi baru tersebut.
Jika proses pembelajaran hanya berorientasi pada UN, dapat kita yakini bentuk pembelajaran di kelas akan berupa latihan/drill. Dan ini merupakan bentuk dari belajar hafalan (Ausubel, 1968). Ciri yang dapat dilihat dari belajar hafalan adalah menerapkan rumus untuk memecahkan masalah dan pemecahan dengan coba-coba.
Begitu besar peran guru dalam pendidikan, namun dalam kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan pada Juli 2013, justru ada kecenderungan untuk semakin mengkerdilkan peran guru. Guru tidak dilatih dan dididik untuk kreatif, peka terhadap kebutuhan dan mengerti perbedaan masing-masing peserta didik, namun dilatih untuk menjalankan panduan yang terdapat dalam buku Babon yang dirilis secara nasional. Kemampuan guru dapat dilatih agar sesuai dengan buku panduan, namun pemerintah lupa bahwa kebutuhan, kemampuan, kecerdasan, pemahaman, kondisi psikologi dari tiap siswa secara individu maupun regional berbeda. Apakah mereka (penulis buku Babon) dapat menjamin bahwa panduan yang mereka cantumkan dalam buku merupakan kebutuhan dan sesuai kemampuan seluruh peserta didik di seluruh Indonesia? Secara pribadi penulis sangsi bahwa para penulis buku Babon pernah mengajari peserta didik pada sekolah di pelosok Indonesia.
Jadi, apakah UN atau strategi pembelajaran di kelas yang merupakan masalah dari kondisi pendidikan bangsa Indonesia?
Pada bagian akhir ini, penulis berkesimpulan bahwa perlu adanya moratorium terhadap pelaksanaan UN ini mengingat dampak yang ditimbulkannya. Perlu waktu untuk mengkondisikan kembali pemahaman yang sebenarnya tentang belajar, baik oleh guru maupun oleh peserta didik juga masyarakat. Selain itu pula, sentralisasi guru (bagi guru PNS, berada di bawah Kemendikbud bukan Pemda) untuk pemerataan kualitas pendidik di seluruh Indonesia dan pendidikan serta pelatihan berkelanjutan bagi setiap guru merupakan hal penting lainnya yang perlu diprioritaskan pemerintah selama pelaksanaan moratorium terhadap UN.
Terima Kasih.
Selamat Datang/Wilujeng Sumping
Memory in al-fatah
Album Foto Sdit Al Fatah Slideshow: Nana’s trip from Bekasi, Java, Indonesia to Jakarta was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.
Minggu, 14 April 2013
PETISI UJIAN NASIONAL
Petisi
oleh
Dengan
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
Kami
warga masyarakat yang peduli pada arah dan mutu pendidikan nasional, menyatakan
keprihatinan kami yang mendalam atas tetap dilaksanakannya kebijakan Ujian
Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Petisi
untuk Perbaikan Mutu Pendidikan Nasional ini ditujukan sebagai penyikapan
terhadap semakin buruknya dampak Ujian Nasional bagi upaya pencerdasan
kehidupan bangsa. Belenggu Ujian Nasional telah secara signifikan mereduksi
pendidikan nasional menjadi sekadar pabrik pencetak generasi pekerja yang
nirnalar dan beriman pragmatis.
Petisi
ini kami tekankan pada butir-butir berikut:
1.
Penempatan Ujian Nasional sebagai ujian kelulusan berisiko tinggi bagi siswa,
guru, sekolah dan Dinas Pendidikan daerah telah menyepelekan proses pendidikan
dasar dan menengah menjadi hanya berfokus pada kelulusan Ujian Nasional semata.
Berbagai permasalahan dan perliaku negatif yang timbul sebagai konsekuensi
logis penempatan Ujian Nasional ini antara lain: penyempitan kurikulum,
pengkastaan mata pelajaran, pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang
bersifat hapalan, dan perilaku jalan-pintas.
2.
Fokus berlebihan pada Ujian Nasional yang ditempatkan sebagai ujian kelulusan
berisiko tinggi telah melunturkan hasrat dan suasana kesenangan dalam proses
belajar mengajar, serta menggantinya dengan suasana keterpaksaan dan ketakutan.
Berbagai permasalahan yang nyata timbul di lapangan akibat hal ini antara lain:
usaha kecurangan masif dan sistematis dari satuan pendidikan, perilaku
kecurangan kolektif, kecanduan pada bimbingan tes dan latihan soal, serta
berbagai tindakan ritual keagamaan maupun klenik yang tidak proporsional dan
mengasingkan rasionalitas.
3.
Pemberlakuan satu ujian kelulusan standar di seluruh Indonesia yang bersifat
menghukum pelaku pendidikan adalah bentuk ketidakadilan dan penyederhanaan
permasalahaan secara berlebihan di saat sebaran mutu layanan pendidikan masih
penuh ketimpangan. Penilaian dan pengawasan justru harus diterapkan terhadap
pemerintah sebagai penyedia layanan pendidikan.
4.
Mutu soal Ujian Nasional bersifat kognitif rendah dan mendorong proses belajar
yang bersifat hapalan dan keterampilan hitungan rutin, telah menyuburkan
perilaku nirnalar dan sikap pragmatis, tidak mengajarkan kecakapan yang
benar-benar dibutuhkan siswa agar menjadi manusia abad ke-21 yang sukses dan
berkontribusi pada masyarakat luas. Kualitas soal Ujian Nasional yang buruk itu
menyebabkan Indonesia semakin tertinggal dari negara lain dalam berbagai
evaluasi kualitas pendidikan internasional.
5.
Kengototan Kemdikbud meneruskan Ujian Nasional dan mengabaikan putusan kasasi
Mahkamah Agung tahun 2009 yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Ujian Nasional, dengan alasan
"tidak ada kata 'menghentikan' dalam amar putusan dan hanya ada perintah
meningkatkankan kualitas layanan pendidikan yang memang telah menjadi tugas
rutin Kemdibkud", adalah merupakan suatu upaya manipulasi dan korupsi
semantik yang sangat tidak layak dilakukan oleh penguasa dan pengelola
pendidikan nasional. Pembangkangan hukum seperti ini merupakan preseden buruk
bagi para pelaku pendidikan terutama pendidikan buruk bagi siswa.
6.
Ujian Nasional telah menghabiskan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar
dari seluruh pelaku pendidikan nasional sehingga menyebabkan hilangnya
kesempatan untuk melakukan berbagai hal yang lebih utama bagi kemajuan
pendidikan nasional kita, seperti: perhatian yang lebih besar pada peningkatan
mutu guru sebagai elemen yang paling mempengaruhi mutu pendidikan, mendorong
pemerataan distribusi layanan pendidikan, mendorong inovasi dan pemutakhiran
proses persekolahan yang masih terjebak pada paradigma revolusi industri, serta
mendorong berbagai model pendidikan alternatif sebagai pilihan bagi kebutuhan
masyarakat yang beragam.
Dengan
mempertimbangkan butir-butir keprihatinan tersebut, maka kami menuntut agar
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara serius dan
bersungguh-sungguh:
1.
Melakukan reposisi terhadap Ujian Nasional kembali ke fungsi seharusnya, yaitu
sebagai salah satu uji diagnostik untuk pemetaan kualitas layanan pendidikan
dengan menaati kaidah-kaidah uji diagnostik yang tepat [dilakukan dengan
pengambilan sampel, periodik 3-5 tahunan, mendalam, mencandra spektrum
kecakapan yang benar-benar penting untuk kehidupan di abad 21], serta tidak
dikaitkan dengan kelulusan peserta didik maupun penghakiman terhadap guru dan
satuan pendidikan.
2.
Mengembalikan proses kelulusan peserta didik kepada satuan pendidikan sesuai
amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
roh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sembari meningkatkan kemampuan satuan
pendidikan dalam melakukan evaluasi pembelajaran yang bersifat menyeluruh dan
berorientasi pada proses tumbuh kembang berkelanjutan dari peserta didik.
3.
Memperhatikan penempatan berbagai evaluasi pendidikan secara strategis dan
berhati-hati sebagai bagian integral yang akan memperkaya dan mengarahkan
proses pembelajaran, terutama dalam menyambut perubahan kurikulum yang akan
dijalankan pada tahun 2013, agar tidak mengulangi kesalahan penerapan kurikulum
yang dinafikan oleh Ujian Nasional.
4.
Berfokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan bermutu bagi setiap insan di
setiap penjuru nusantara yang dilandasi oleh kajian seksama dan perencanaan
strategis dalam satu dekade ke depan, agar setiap insan mampu mengembangkan
kecakapan dan sikap yang relevan dengan kehidupan di abad 21 dengan tetap
berlandaskan dan tidak mengabaikan nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia.
Petisi ini dimulai dan didukung oleh:
Prof.
H.A.R. Tilaar, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Prof. Daniel M.
Rosyid, Prof. Iwan Pranoto, Prof. Mayling Oey-Gardiner, Prof. Soedijarto, Prof.
Soegiono, Prof. M. Ansjar, Prof. Bambang Sutjiatmo, Prof. Ahmad Erani Yustika,
Prof. Abdullah Shahab, Prof. Mudjisutrisno, Prof. B.S. Mardiatmadja, Prof. J.
Sudarminto, Prof. Muhammad Bisri
Darmaningtyas,
Utomo Dananjaya, Munif Chatib, Satria Dharma, Habe Arifin, Ahmad Rizali,
Sulistyanto Soejoso, Rohmani, Aulia Wijiasih, Itje Chodidjah, Najelaa Shihab,
Ahmad Baedowi, Biyanto, Suparman, Nugroho, Eko Purwono, Achmad Muchlis, Semino
Hadisaputra, Moko Darjatmoko, Dhitta Puti Sarasvati, Heru Widiatmo, Romo
Baskoro, Jasmin Jasin, Retno Listyarti, Elin Driana, Saiful Mahdi, Kreshna
Aditya
Untuk:
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Badan
Standar Nasional Pendidikan
Dengan
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
Kami
warga masyarakat yang peduli pada arah dan mutu pendidikan nasional, menyatakan
keprihatinan kami yang mendalam atas tetap dilaksanakannya kebijakan Ujian
Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Petisi
untuk Perbaikan Mutu Pendidikan Nasional ini ditujukan sebagai penyikapan
terhadap semakin buruknya dampak Ujian Nasional bagi upaya...
KISRUH TENTANG PROFESI GURU
Kisruh Kebijakan Pendidikan Profesi Guru
Anda tentu pernah mendengar wacana tentang Pendidikan
Profesi Guru, bukan? Ya, dapat
dipastikan bahwa semua guru, terutama yang saat ini masih menjabat sebagai
tenaga pengajar honorer, tentunya mengetahui akan hal ini. Bagaimana
tidak, Pendidikan
Profesi Guru merupakan sebuah program
baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus diikuti oleh semua guru
guna meningkatkan penguasaan kompetensi guru. Bahkan, menurut wacana yang
bersumber dari portal dikti, mulai 2013 nanti, salah satu syarat untuk menjadi
guru PNS adalah dengan memiliki sertifikat lulus Pendidikan Profesi Guru.
Dengan program tersebut, ke depannya semua lulusan
sarjana pendidikan (S.Pd) akan bersaing dengan mereka yang notabene merupakan
sarjana ilmu murni. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9
Undang-undang Guru dan Dosen yang berbunyi: kualifikasi akademik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau
program diploma empat, menjadikan pendidikanprofesi guru yang diakui sebagai profesi khusus juga terbuka
untuk sarjana nonkependidikan.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, setiap lulusan sarjana ilmu
murni yang memiliki potensi atau ilmunya lebih tinggi dari sarjana pendidikan,
boleh menjadi guru. Tujuannya tentu saja untuk memajukan kualitas pendidikan
Indonesia yang selama ini diisi oleh guru-guru yang kualitasnya rendah. Selain
itu, kebijakan ini pun dilakukan guna mendukung cita-cita bangsa dalam
mewujudkan generasi yang cerdas.
Sekilas, tujuan dari kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) sangatlah mulia, mewujudkan generasi yang cerdas. Namun,
yang kemudian dipertanyakan oleh banyak kalangan dari calon dan tenaga pendidik
adalah “Sudah benarkah kebijakan tersebut?”
Melihat tanggapan dan reaksi di lapangan, khususnya yang datang
dari kelompok mahasiswa keguruan terkait niatannya menggugat PPG ke Mahkamah
Konstitusi MK, tentu ada yang salah dengan kebijakan tersebut. Lalu, apa
sebenarnya yang dianggap salah oleh para mahasiswa keguruan dan guru terkait
kebijakan PPG tersebut?
Jika pemerintah merasa bahwa kebijakan itu sesuai dengan
Undang-undang Guru dan Dosen, mungkin mereka benar. Namun, terdapat beberapa
hal mendasar yang sepertinya harus dikritisi bersama menyangkut kebijakan PPG
ini.
Pertama, sesuai hakikat pendidikan, guru merupakan
profesi istimewa yang dituntut tidak hanya mampu mengajar, tetapi juga harus
bisa mendidik dan menguasai empat kompetensi
guru (pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional). Keempat kompetensi tersebut baru bisa dikantongi sarjana keguruan
setelah mereka menempuh studi selama 4 tahun, itupun masih harus terus diasah.
Dari kenyataan itu saja, bagaimana mungkin seorang lulusan sarjana ilmu murni
yang hanya mengikuti PPG selama satu tahun, kemudian bisa mengikuti CPNS guru?
Selain itu, mungkinkah potensi mereka terkait keempat kompetensi guru bisa
disejajarkan dengan lulusan sarjana keguruan? Mustahil.
Kedua, hal yang juga perlu dikritisi adalah tentang keberadaan
jurusan kepandidikan dan non-kependidikan. Apa fungsi pembedaan kedua jurusan
tersebut jika kemudian lulusannya dipandang sama? Lagi-lagi, ini bukan karena
lulusan keguruan merasa “takut” bersaing dengan lulusan ilmu murni, melainkan
lebih kepada hakikat pendidikan. Guru jangan hanya bisa mengajar, tetapi harus
pula mendidik. Mengajar dan mendidik ini merupakan sesuatu yang berbeda dan
tidak mungkin disamaratakan.
Semua orang, termasuk masyarakat umum hingga lulusan sarjana
lulusan non-kependidikan bisa mengajar asalkan memiliki referensi yang akan
diajarkan berupa buku. Tapi, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang bisa
mendidik. Dari segi potensi dan kedalama ilmu, sarjana lulusan non-kependidikan
mungkin ada lebih tinggi, namun apakah mereka tahu bagaimana cara membuat
rencana pelaksanaan pembelajaran, bagaimana cara menyampaikan pembelajaran yang
inovasi, bagaimana cara pembelajaran triple multi, dan bagaimana karakteristik
perkembangan peserta didik? Sekali lagi, tenaga pendidik bukanlah pengajar yang
hanya bisa mentransfer ilmu. Tenaga pendidik adalah motivator dan fasilitator
untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan berkarakter.
Jika sarjana pendidikan saja harus menguasai semua hal tersebut
selama 4 tahun, apakah adil jika sarjana nonkependidikan melalui PPG selama 1
tahun, kemudian bisa menjadi guru? Jika pemerintah beralasan bahwa kualitas
lulusan sarjana pendidikan masih kurang, PPG ini sepantasnya dijadikan media
pembelajaran untuk memperbaiki kekurangan mereka, bukan lantas meragukan dan
cenderung menyudutkan kualitas sarjana pendidikan. Di lapangan, banyak sekali
guru yang pandai dari sisi keilmuan, tetapi mereka kurang bisa menyampaikannya,
sehingga peserta didik tetap tidak bisa mendapatkan ilmu. Jadi, bukankah lebih
baik jika PPG ini diperuntukan bagi guru-guru seperti itu?
Demikianlah pembahasan seputar kebijakan Pendidikan Profesi Guru yang
masih menjadi perdebatan hangat berbagai kalangan. Semoga, sebelum kebijakan
ini benar-benar diterapkan, pemerintah bisa lebih peka terhadap hakikat
pendidikan dan profesi guru
REFLEKSI UNTUK KURIKULUM 2013
Lembaga Pendidikan "Pabrik Soft-Skill SDM", Kurikulum
2013 Apa Hebatnya?
oleh Muhammad Alwi pada 7 Januari 2013 pukul 10:14 ·
Selayang Pandang
Kadang
kita berfikir dan berkata bahwa, sebenarnya bangsa kita ini banyak orang
pandai, buktinya kita sering menjuarai olimpiade Matematika dan Fisika tingkat
dunia. Banyak orang yang lulus dengan sangat baik saat mengambil Doktor/Phd di
eropa dan AS. Tetapi apakah benar kita seperti itu? Dari data TIMMs dan PISA,
ternyata kita termasuk Negara ditingkat bawah. Memang ada 1, 2, beberapa anak
hebat, tetapi kemajuan, kehebatan sebuah Negara, itu ditentukan oleh sekian
banyak orang, kalau tidak rata-rata orang. Disinilah kita mesti bertanya;
Proyek Yohanes Surya itu untuk apa?
Sekedar
contoh, walau data ini cukup jadul (lama). GDP (Gross Domestic Product), AS
(7.100 Milyar $), Jepang (4.963,6), Indonesia (190,1), Saudi (133,5), Singapura
(79,8), Malaysia (78,3), Mitsubishi (181,5), Ithocu (169,2), General Motor
(168,8), Sumitomo (167,5), AT&T (79,6) (data tahun 1995) Sumber: Donald A,
Ball & Wendell H. McCulloch, "International Business, 7th ed".
2000, p 17. Apakah penyebab ini semua? Mengapa? Salah-satu factor terpenting
dalam kemajuan semuah Negara adalah factor SDM (sumber daya manusia),
soft-skill. Dan pabrik, alat produksi soft skill (SDM) yang paling besar adalah
sekolah dan guru. Karenanya bila ada masalah dalam sebuah bangsa, maka sekolah,
pendidikan dan guru yang akan dikoreksi paling awal. Karena kesalahan
pemimpin-pun bisa dirunut dan diarahkan pada kesalahan pencetakan awal yaitu
lembaga pendidikan (sekalipun kita semua sepakat….tidak mesti sekolah, dan
lembaga pendidikan saja yang mesti disalahkan).
Karena
itulah lumrah dan masuk akal bila, karena berbagai hal promlematika bangsa ini,
maka kurikulum yang merupakan blue-print jalannya sebuah lembaga pendidikan
(sekolah) perlu dikoreksi bahkan diubah.
Kompenen inti Perubahan Kurikulum KTSP ke 2013 (Singkat)
Elemen
Perubahan yang diharapkan dari Kurikulum KTSP (Kurikulum) 2006 ke Kurikulum
2013 meliputi 3 Aspek; Aspek Lulusan :
Adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aspek Mata Pelajaran(Isi) : Kompetensi yang
semula diturunkan dari matapelajaran berubah menjadi matapelajaran dikembangkan
dari kompetensi. Aspek Pendekatan :
SD, SMP, SMA (Tematik Integratif dalam Semua Pelajaran), Vokasional (SMK).
Struktur
Kurikulum (Mata Pelajaran dan Alokasi Waktu) (ISI), ada perubahan yaitu SD
berubah jumlah pelajarannya dari 10 menjadi 6 dan Jam pelajaran per minggu naik
4 jam/minggu (karena perubahan pendekatan pembelajaran). SMP Jumlah mata
pelajaran turun dari 12 ke 10 Mapel. Jumlah jam pelajarannnya bertambah 6 jam
per minggu-ny (karena perubahan pendekatan pembelajaran). SMA cukup menarik ada
MP pilihan dan MP wajib. Ada pengurangan MP yang wajib diikuti siswa, dan ada
tambahan 1 jam pelajaran per minggunya. Di SMK, ada tambahan yang sangat banyak
dalam jenis keahlian kebutuhan yaitu 6 program keahlian, 40 bidang keahlian,
121 kompetensi keahlian. Sementara untuk ektrakulikuler tambahan Pramuka adalah
ekstra-wajib disetiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA dan SMK).
Untuk
Jumlah jam pelajaran yang agak aneh adalah Mapel B. Indonesia di SD, 10
jam/minggu dan PPKN 6 jam/minggu. Dimana B. Indonesia (pelajaran membaca)
dimasukkan disana dengan semacam membaca IPA dan Membaca IPS.
Pendekatan
di SD/SMP, menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati,
menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata
pelajaran. Di SMA kemungkinan jurusan akan dihilangkan diganti dengan Mapel
wajib dan Mapel Pilihan dan Peminatan (Minat dan Bakat) dari Rapot atau lainnya
di SMP. (Disarikan dari draft Kurikulm
2013).
Hal-hal yang mesti Diperhatikan
Saya
tidak ingin mengomentari draft itu, walaupun banyak yang kritis dan was-was
dengan konsep diatas. Tetapi saya ingin menyampaikan dalam note saya ini;
Pertama: Karakter itu dominan bukan diajarkan,
tetapi teladan dan linkungan yang lebih dominan. Ranahnya bukan ranah Kognitif
dan Psiko-motor. Oleh karenanya maka, keinginan untuk pendidikan berkarakter,
harus ada perubahan paradiqma dari pengajaran (pemberian materi) ke arah
lainnya.
Kedua, yang perlu diingat oleh pembuat
kebijakan adalah, tema-tema, integrative, tematik, contektual dll, itu sudah
ada dikurikulum sebelum-sebelumnya hanya masalah ke-efektifan dalam
implementasinya di sekolah-sekolah yang kurang (atau malah tidak ada). Kalau
sekarang ada, ini bukan hal yang baru.
Ketiga, ada yang pernah bicara dengan saya
seperti ini. Mengapa Negara-mu tidak meng-adop kurikulum international untuk
pelajaran IPA/IPS yang itu ada secara international (standart-dunia)? Bukankah
AS, Eropa, Australia, Singapura punya team riset yang sangat baik, dan secara
investasi mereka mengeluarkan jumlah uang sangat banyak? Dengan seperti itu
atau meramunya. Anda tidak perlu buang-buang uang dengan buat kurikulum,
sosialisasi dst..dst yang memakan biaya sangat banyak (dan rawan korupsi).
Negara-negara itu sudah memiliki lesson-plan, slide-slide, animasi
dst..dst…untuk hal-hal itu. Anda tinggal terintegrasi kesana. Sekali lagi hanya
Mapel yang ada dan standart international. Saya berfikir itu masuk akal,
walaupun menyisakan pertanyaan…hemmmm.
Keempat, Menurut saya, Kurikulum kita baik-baik
saja (bukan berarti sudah ideal), masalahnya adalah di tingkat implementasi
dilapangan. Kita lihat kasus UN. Pemerintah memaksa….maka rakyat melawan dengan
“melakukan kucurangan”. Sayangnya pemerintah sangat lambat mengetahui detail
itu dan meresponnya. Sehingga sudah menjadi semacam paradiqma dan maind-set
sekolah dan guru. Sekarang Kecurangan dan harus mendapat nilai UN tinggi sudah
menjadi hal yang ‘semi-wajib’ disekolah sekolah. Itu tidak terjadi 7 atau 10 tahun
lalu.
Kita
mesti ingat; Persepsi tentang UN atau lainnya akan menentukan tindakan,
tindakan menjadi berulang akan menjadi kebiasaan (hal umum dst. Disinilah
akhirnya yang jujur jadi aneh dan tidak tahan dengan prestasi sekolahnya).
Kebiasaan menjadi karakter kita. dan karakter itu menentuakan nasib kita
selanjutnya dan dimasa depan.
Lihat
kasus RSBI, karena ingin meningkatkan daya saing dan berkemampuan bahasa asing
(Inggris). Dalam Implementasinya, dibuatlah sekedar kejar setoran, maka banyak
yang RSBI-RSBI-an, sama sekali tidak punya kesiaapan dan kelayakan. Setelah
dievaluasi, ketahuan bahwa sangat-sangat tidak berhasil kansep itu. Mangapa?
Apa yang salah? Apa kebijakan, aturan atau dalam wilayah implementasi?
Resep Obat, tergantung Diagnose Jenis Penyakit
Bangsa
kita sekarang sudah sedikit lebih maju, sebab Negara kita sudah sadar bahwa
kita sedang ‘sakit’. Kesadaran kita punya masalah itu penting, sebab dengan itu
kita akan mencari solusinya. Dan kita juga “mulai sadar” bahwa salah satu
penyembuhannya adalah peningkatan SDM. Tetapi masalahnya, resep, obat sebuah
penyakit tergantung diagnose penyebab penyakit itu. Bila diagnosanya salah,
maka semahal apapun obat yang dibeli, dan dikonsumsi, maka tidak akan
menyembuhkan penyakit itu kalau tidak malah menambah parah.
Dalam
manajemen ada unsur POAC (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling).
Kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan kita (dalam pendidikan dan kurikulum)
sebenarnya (menurut saya) bukan pada Planning dan Organizing, tetapi pada
masalah Actuating (yang isinya adalah Kepemimpinan dan Motivasi). Kurikulum mau
bagaimanapun, dirubah berapa kalipun tetap tidak ada artinya bila manusia-nya,
para guru-guru-nya, kepala Diknas, pengawas dan yang terkait. Ogah-ogahan,
tidak mau melaksanakan dan tidak termotivasi untuk melaksanakan. Akhirnya
yang terjadi adalah kejar laporan, kejar setoran, supaya daerahnya bagus dst.
Jadi
saya berfikir dan mengusulkan bahwa perubahan paradiqma, perubahan konsep
berfikir, motivasi dan leadership sangat-sangat penting dilakukan, dibuat,
diberikan buat guru-guru dan lembaga pendidikan.
Usulan-usulan
Komponen
terpenting dalam sukses-nya pendidikan adalah Siswa itu sendiri, Guru dan
Orang-tua/wali murid. Oleh karenanya ketiga komponen ini mesti ada upgrading
dalam masalah pendidikan dan psikologi pendidikan, anak dan pengajaran. Maka
saya mengusulkan;
Pertama, Guru semestinya diberikan
pelatihan-pelatihan motivasi, psikologi anak bukan sekadar pelatihan atau
workshop skill mengajar, teknis mengajar dan kebijakan-kebijan pemerintah.
Kedua, kepala sekolah mesti diajarkan, dilatih
dengan benar-benar dilatih tentang kepemimpinan. Pelatihan-pelatihan yang biasa
dilakukan diperusahaan. Bukan pelatihan-pelatihan dari DIKNAS baik Kabupaten
atau wilayah. Sebab mereka banyak urusan proyek, dana daripada isi dan
profesionalitas.
Ketiga, Wali murid. Parenting sekolah
semestinya harus diadakan tidak hanya tingkat TK/Paud dan SD. Tetapi juga SMP
dan SMA.
Ke-empat, disekolah wajib memiliki psikolog dan
motivator yang terintegrasi. Semacam dokter keluarga. Sehingga mereka punya
jam-jam wajib bertandang kesekolah-sekolah itu. Sebab Motivator dan psikolog
itu mampu memberikan soft skill dalam proses belajar-mengajar, khususnya
motivasi, niat baik, mapping potensi, kepribadian, minat dan bakat,
dst..dst.
Siapa
yang mesti membuat pelatihan itu semua? Sekolah sendiri, guru-guru sendiri.
Dari mana dana-nya. Dari iuran antar sekolah, dari komite, dari dana-dana
bantuan pemerintah dst. Sebab motivasi, niatan itu mengalahkan kemampuan
teknis, dalam hal implementasi dilapangan. Dan pemahaman mapping potensi,
psikologi anak akan mengefektifkan dalam proses belajar mengajar dan suksesnya
sebuah sekolah. Sukses yang benar-benar sukses, bukan sukses intertain, tetapi
mampu mengantarkan anak menjadi sukses yang sekaligus bahagia, SUCCESS and
HAPPY, ACHIEVABLE and WELL-BEING.
Wallahu
a’lam bi Al Shawab
La
haula walla Quwwata illa Billah
Muhammad Alwi
Trainer,
Pendidikan Positif (POSITIVE EDUCATION) dan Multiple Intelligence. Alumni UM-
Malang (Strategi Pendidikan), PPS Univ Brawijaya Malang (Human Resource
Manajemen), Sekarang study lanjut di Psychology Department.
Jumat, 12 April 2013
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN INDONESIA
Inilah hasil kajian Balitbang Depdiknas :
Kurikulum 2013:
Instrumen Peningkatan Mutu Pendidikan
Oleh: Bambang
Indriyanto
Peneliti Pada Pusat
Penelitian Kebijakan, Balitbang, Kemdikbud
Secara konvensional
terdapat kecenderungan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan selalu dikaitkan
dengan ketersediaan sarana dan prasana pendidikan yang memadai, serta
kompetensi guru. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak
sepenuhnya betul. Ada komponen lain yang jarang disentuh yaitu kurikulum.
Argumentasi yang dikemukakan pada tulisan ini adalah kurikulum merupakan
instrumen strategis bagi upaya peningkatan mutu pendidikan.
Kenapa demikian?.
Kurikulum sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan terdiri dari tiga
entitas yaitu tujuan, metode, dan isi. Peningkatan kompetensi guru dan
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan hanya akan memberikan makna bagi
peserta didik jika diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan
dalam kurikulum. Pada konteks Sistem Pendidikan Nasional rumusan tersebut
dirumuskan pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Pada Peraturan Pemerintah
nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab Ketentuan Umum SKL
didefinisikan sebagai “kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan”.
Untuk menjamin agar
SKL tersebut dapat dicapai maka kegiatan belajar mengajar tersebut dilengkapi
dengan tujuh standar lainnya yaitu standar isi, standar proses, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan. Keberadaan
standar-standar ini telah dijamin oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, Pasal 2.
Kurikulum 2013
sebagai bagian dari intervensi peningkatan mutu pendidikan, tentu tidak bisa
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu,
SKL menjadi rujukan ketika Kurikulum 2013 diterapkan, termasuk tujuh standar
nasional pendidikan lainnya. Demikian juga dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) tetap menjadi bagian Kurikulum 2013. Satuan pendidikan tetap
mempunyai kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sendiri yang sesuai dengan
kondisi satuan pendidikan tersebut. Di samping itu, Kurikulum 2013 tetap
merupakan kurikulum berbasis kompetensi.
Namun demikian,
sebagaimana dinyatakan pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 38, kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan
menengah ditetapkan oleh Pemerintah. Satuan pendidikan tetap harus merujuk pada
kerangka dasar dan struktur kurikulum jika harus mengembangkan kurikulum
sendiri. Ketentuan untuk merujuk pada kerangka dasar dan struktur kurikulum
merupakan bagian dari quality assurance.
Dalam berbagai forum
uji publik yang telah diselenggarakan dari tanggal 29 November sampai dengan 23
Desember 2012, beberapa perseta menanyakan tentang keberadaan Buku Babon.
Mereka yang belum mengetahui tentang maksud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
untuk menyediakan Buku Babon beranggapan bahwa akan keseragaman dalam
kurikulum, dan bertentangan dengan ketentuan pada PP nomor 19 tahun 2005.
Keberadaan Buku Babon, tidak dimaksudkan sebagai bentuk sentralisasi kurikulum
dan penyeragaman, tetapi dimaksudkan untuk standarisasi dalam pelaksanaan
kurikulum. Hal ini didasarkan pada adanya kecenderungan tidak setaranya
kurikulum yang digunakan oleh satuan pendidikan. Kecenderungan ini terjadi
karena adanya perbedaan kompetensi guru, sehingga ada satuan pendidikan yang
mengadopsi kurikulum dari satuan pendidikan atau contoh dari Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, tanpa melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi satuan
pendididkan tempat guru tersebut mengajar.
Buku Babon didisain
untuk memfasilitasi guru melakukan tugas mengajarnya dan peserta didik
mengikuti kegiatan belajar mengajar. Buku Babon direncanakan untuk memuat isi
mata pelajaran, metode mengajar, dan metode evaluasi. Dengan ketiga komponen
tersebut, guru diharapkan dapat melakukan diagnosis terhadap kesulitan belajar
peserta didik dan peserta didik diharapkan akan mengetahui pada topik bahasan
yang mana dia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Keberadaan Buku Babon
merupakan standar minimum yang harus dicapai oleh setiap siswa. Jika ada satuan
pendidikan yang mampu untuk mencapai lebih tinggi dari standar yang ditetapkan
pada Buku Babon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak melarangnya, bahkan
mendorong setiap satuan pendidikan dapat mencapai target yang lebih tinggi.
Kurikulum 2013
merupakan intervensi peningkatan mutu yang strategis, namun sasarannya besar
baik dari segi siswa yang akan menjadi subyek dari kurikulum 2013, maupun guru
yang menjadi aktor utama dalam implementasinya, sehingga pelaksanaan secara
serentak dengan sasaran semua satuan pendidikan secara nasional menjadi hal
yang sulit untuk dilaksanakan. Wakil Presiden dalam sambutannya dalam pembukaan
Rembuknas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, menyatakan bahwa
Implementasi Kurikulum 2013 perlu dilaksanakan segera secara bertahap dan
jangan molor karena yang rugi generasi muda. Begitu molor pasti ada korban,
sebagian generasi muda tidak bisa menerima manfaat kurikulum baru..
Dalam pelaksanaan
Kurikulum 2013 akan dilaksanakan secara terbatas dan berjenjang. Untuk SD akan
dilaksanakan pada kelas I dan IV, sedangkan pada SMP dilaksanakan VII, dan di
SMA dilaksanakan di kelas IX. Jika pada tahun ajaran 2013/14 Kurikulum 2013 dilaksanakan
pada kelas-kelas tersebut, maka pada tahun ajaran 2014/15 secara berjenjang
dilaksanakan pada kelas-kela berikutnya. Misalnya di SD dapat dilaksanakan pada
kelas II dan V, sedangkan di SMP dapat dilaksanakan pada kelas VII dan di
SMA/SMK dilaksanakan pada kelas X.
Keberhasilan
pelaksanaan Kurikulum 2013 tidak hanya pada ketepatan dan comperehensiveness
perumusan SKL dan kerangka dasar, serta struktur kurikulum, tetapi dari
kepemimpinan kepala sekolah pada tingkat satuan pendidikan dan kepemimpinan
guru pada tingkat kelas. Kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peran penting
dalam memfasilitasi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas.
Sedangkan kepemimpinan guru di tingkat kelas jelas menjadi bagian yang tidak
bisa dipisahkan dengan bekerhasilan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013. Guru
merupakan aktor terdepan dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 yang berhadapan
dengan peserta didik. Peran penting guru antara lain meliputi: (1) kemampuan
menjabarkan topik-topik bahasan pada mata pelajaran menjadi informasi yang
menarik dan mudah dipahami oleh peserta didik, (2) kemampuan untuk
mengidentifikasi tingkat dan area kesulitan peserta didik dan kemampuan untuk
membantunya keluar dari kesulitan tersebut, dan (3) kemampuan melakukan
evaluasi kemajuan belajar siswa. Berdasarkan hasil evaluasi guru dapat
menentukan strategi untuk menentukan metode pembelajaran yang lebih tepat dan
kecepatan dalam memberikan informasi berupa pengetahuan kepada peserta didik.
Kurikulum 2013
memang merupakan instrumen peningkatan mutu pendidikan. Peran guru dan kepala
sekolah menjadi pendukung utama agar Kurikulum 2013 dapat secara signifikan
meningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah.
PRO KONTRA TENTANG KURIKULUM 2013
Setelah membaca dokumen kurikulum 2013,
mengikuti seminarnya, dan merenung sedalam-dalamnya, maka saya ucapkan,
“Bismillah”, dan memberanikan diri untuk menolak kurikulum 2013. Mengapa saya
sebagai seorang guru menolak kurikulum baru? Sebab kurikulum baru itu tidak
menjawab permasalahan pendidikan yang ada di bumi Indonesia. Anda boleh tak
setuju dengan saya, dan boleh juga sepakat. mari kita beragumentasi dengan akal
sehat.
Rendahnya Kualitas Guru
Masalah
rendahnya kualitas guru, seharusnya bukan dijawab dengan pergantian kurikulum
baru. Semestinya pemerintah menjawabnya dengan pelatihan-pelatihan guru yang
mampu meningkatkan kualitas guru. Pendidik kita banyak yang belum mengikuti
pelatihan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Bahkan ada guru PNS di daerah
yang puluhan tahun belum mendapatkan pelatihan guru dari pemerintah. Itulah
fakta yang dapat dilihat dengan kasat mata.
Rendahnya
nilai anak-anak Indonesia berdasarkan hasil penelitian TIMSS 2011 dan PISA
secara internasional belum bisa dijadikan alasan untuk pergantian kurikulum.
Sebab rendahnya nilai itu, karena kita belum memiliki guru-guru yang
berkualitas. Kalau saja pemerintah fokus dalam pelatihan guru, niscaya
nilai-nilai itu akan terangkat dengan sendirinya. Sebab pada dasarnya, anak
Indonesia adalah anak-anak yang cerdas. Perlu guru yang cerdas pula untuk
mengajari mereka. Cara mengajar guru itu kuncinya.
Kurikulum
sudah seringkali berubah, namun ternyata tidak memecahkan masalah. Mengapa kita
tak pernah belajar dari sejarah? Selalu melakukan hal yang sama, dan terperosok
dalam lubang yang sama? Kasihan para peserta didik kita. Mereka hanya menjadi
kelinci percobaan kaum penguasa. Mereka dijadikan “trial and error”dari sebuah
penelitian kebijakan yang berbasis proyek. Pantas saja pendidikan menjadi mahal
di negeri ini. Si miskin menjadi sulit mendapatkan pendidikan yang baik. Rusak
sudah bangsa ini (RSBI). Ganti menteri, ganti kurikulum.
Pak
Mendikbud Muhammad nuh selalu bilang, “di Kurikulum baru, guru tak perlu lagi
bikin silabus”. Sungguh sebuah pembodohan yang terstrukturisasi. Guru hanya
diminta untuk menjadi makhluk penurut dan memenuhi keinginan sang penguasa.
Guru tak menjadi lagi orang yang merdeka, dan memiliki kepekaan terhadap
lingkungan sekitarnya.
Tolak Kurikulum 2013
Kini
saatnya guru bersatu untuk menolak kurikulum baru. Jangan mau lagi guru
dibodohi oleh sang penguasa. Kita harus mampu berpikir kritis, dan bukan hanya
memikirkan diri sendiri. Nasib bangsa ini terletak di tangan guru. Bila gurunya
kritis, dan mampu berpikir jernih, maka sang penguasa tak akan mampu berbuat
apa-apa. Demokrasi terletak ditangan rakyat, dan pendidikan yang baik terletak
di tangan guru tangguh berhati cahaya.
Mengapa
guru harus menolak kurikulum 2013? Sebab kurikulum ini syarat dengan
kepentingan politik. Kurikulum itu terlalu dipaksakan dan belum tentu mampu
menjawab persoalan pendidikan yang ada saat ini. Guru-guru malah dibuat bingung
dengan kurikulum baru. Seminar dan bedah kurikulum 2013 digelar di berbagai
tempat, namun hasilnya belum cukup memuaskan semua pihak. Bila anda ingin
melihat dokumennya, silahkan diunduh di facebook group Ikatan Guru Indonesia
(IGI).
Kurikulum 2013
ditelanjangi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebuah perguruan tinggi bergengsi di Indonesia.
Banyak pakar pendidikan bicara, dan pemerintah seperti tuli. Tak mau
mendengarkan, dan terlalu memaksakan kehendaknya sendiri. Selama ini begitu
banyak masukan dan pertimbangan dari para kritisi, praktisi di lapangan, kaum
cendekiawan, dan akademisi menyikapi permasalahan bangsa ini, selalu saja
mentok ketika berhadapan dengan politik pengambil kebijakan. Setiap solusi dan
terobosan yang bisa terasa langsung di lapangan hampir tak pernah mulus terterima
atau bisa diimplementasikan sesegera gagasan itu muncul.
Pemerintah
terlalu yakin kurikulum 2013 adalah obat yang sangat mujarab untuk menyembuhkan
penyakit pendidikan kita. Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi
yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004,
tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Lalu pertanyaannya, ada apa dengan
KBK?
Saran saya, karena banyaknya penolakan pemberlakuan
kurikulum 2013, sebaiknya kurikulum ini ditunda dulu pelaksanaannya.
Dari sisi persipannya saja, masih terlihat tergesa-gesa. Meski pemerintah
selalu membanatahnya di media. Ingatlah pesan orang bijak! Sesuatu yang
tergesa-gesa itu akan berdampak buruk. “al’ajalu minassyaithon”, tergesa2 itu
sebagian dari kebiasaan syetan. Pikirkanlah yang matang dan mari kita terima
masukan dan kritikan dengan lapang dada.
Uji
publik yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya dapat menjawab kegalauan para
guru. Namun sayang, uji publik yang digelar itu, hanya mampu dipahami oleh
pemerintah dan belum dipahami sepenuhnya oleh para guru di sekolah. Lagi-lagi
guru hanya sebagai obyek penderita saja. Kapan ya guru menjadi subyek? Guru
akan menjadi subjek bisa setiap saat, jika ia kreatif mengubah kurikulum di
depan murid, menjadi segar dan enak untuk dilahap murid. Guru penentu di kelas,
dan tentu saja tidak ada hubungannya dengan pemerintah.
Guru Harus Bersatu.
Wahai
para guru, bersatulah untuk menolak kurikulum baru. Kita tolak kurikulum 2013
bukan karena kita tak ingin menjadi bangsa yang maju. Tapi kita ingin
pemerintah melatih terlebih dahulu guru-guru, menjadi tenaga profesional yang
mampu memperbaiki cara mengajarnya. Guru harus berubah, tapi perubahan
itu tak harus dengan mengganti kurikulum baru yang mengeluarkan biaya sampai
Rp. 2, 49 Trilyun. Lebih baik uang itu digunakan untuk pelatihan dan
peningkatan mutu guru di seluruh Indonesia
Dalam
SMS sosialisasi kurikulum 2013 dituliskan, anggaran melekat artinya ada atau
tidak ada kurikulum 2013 anggaran itu tiap tahun diusulkan dalam anggaran rutin
kemendikbud. Anggaran melekat sebesar Rp. 1,74 Trilyun terdiri atas APBN
kemdikbud Rp. 991,8 Miliar dan DAK sebesar Rp. 748, 5 Miliar. Anggaran langsung
artinya anggaran murni yang diusulkan dan didedikasikan karena adanya kurikulum
2013. Anggaran langsung Rp. 751, 4 Miliar untuk persiapan dokumen,
penulisan dan pembuatan buku, uji publik, dan sosialisasi, pengadaan buku, dan
pelatihan guru. Besarnya anggaran karena jangkauan dan jumlah sasaran yang
hendak diberikan pelayanan terhadap kurikulum 2013 begitu besar.
Membaca
SMS di atas itu, saya geleng-geleng kepala, dan berharap anggota DPR tak serta
merta menyetujuinya. Sebab jajaran kemdikbud belum fokus terhadap dana yang
ada, namun sudah membuat anggaran baru lagi yang belum jelas manfaatnya untuk
kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kita
tentu masih ingat buku sekolah elektronik atau BSE. Buku BSE itu sudah
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan pemerintah telah membeli buku itu
dari penulisnya. Kitapun masih ingat bahwa ratusan buku pengayaan yang
dituliskan oleh para pemenang naskah buku pengayaan kemendikbud sampai saat ini
belum diterbitkan. Tak jelas kenapa belum diterbitkan. Kami yang menjadi salah
satu pemenangnya jelas saja kecewa. Kini pemerintah akan membuat buku untuk
mendukung kurikulum baru, bukankah ini pemborosan biaya?
Kalau
mau jujur, kurikulum 2013 bukanlah jawaban dari peningkatan kinerja pendidikan
melalui kurikulum, guru, dan lama tinggal di sekolah. SMS yang menyesatkan dari
sosialisasi kurikulum 2013 ini jelas dibuat untuk mempengaruhi pola berpikir
publik agar tidak kritis dengan kekurangan kurikulum 2013. Anggaran dana
sebesar Rp. 2,49 Trilyun untuk kurikulum 2013 terdiri atas anggaran melekat dan
anggaran langsung cuma akal-akalan pemerintah agar dana ini dapat dicairkan
dengan dalih pendidikan kunci pembangunan.
Solusi
terbaik bangsa ini adalah menolak dengan tegas kurikulum 2013. Biarkan
kurikulum lama dievaluasi lebih dulu. Mari kita melihat kelemahan dan
kelebihannya. Lalu kemudian lakukan uji p
ublik.
Jangan hanya sepaihak saja mengatakan bahwa kurikulum 2006 atau KTSP tidak
bagus dan harus diganti. Segala sesuatu itu harus dilakukan dengan cara yang
benar dan penelitian yang tingkat validitasnya tak diragukan. Transparansi atau
keterbukaan harus dikedepankan demi menjunjung nilai kejujuran dan sikap
demokratis. Sehingga tak ada omongan lagi, “ganti menteri, ganti kurikulum.”
Mari
kita ucapkan “Bismillah” bersama-sama.
Yakinlah dan percaya bahwa kurikulum 2013 tidak memecahkan masalah pendidikan.
Tetaplah percaya bahwa perubahan itu pasti terjadi. Namun percayalah, perubahan
itu bukan harus merubah kurikulum. Perubahan itu seharusnya memperbaiki cara
mengajar guru agar mampu menjadi guru yang berkualitas. Guru yang mampu
melakukan pembelajaran yang mengundang sehingga siswa asyik dan menyenangkan.
Guru yang mampu menjadi mata air bagi peserta didiknya dari kehausan akan ilmu
pengetahuan. Guru yang mampu memberikan keteladanan sehingga ikut meningkatkan
keimanan dan ketakwaan peserta didiknya. Ingatlah selalu, “Guru yang berkualitas akan melahirkan peserta didik
yang berkualitas pula.”
PENDIDIKAN LAKSANA BETERNAK BEBEK
Pendidikan
sebagai Peternakan Bebek
(Prof. Dr. Bambang
Sugiharto, Guru Besar di Fakultas Filsafat UNPAR)
Sesungguhnya selalu
ada perasaan malas namun sekaligus antusias manakala kita mesti bicara soal
pendidikan di negeri ini. Malas oleh sebab tentang hal itu kita sudah banyak
memperbincangkannya, sementara dalam kenyataan sistem pendidikan tak pernah
berubah juga. Antusias oleh sebab segala hiruk-pikuk kekerasan dan berbagai
persoalan konkrit di negeri ini hari ini sesungguhnya sebagian berakar dalam
sistem pendidikan yang memang sakit juga.
Etos kerja yang
payah—terutama di institusi-institusi negeri—cara berpikir yang dangkal,
kelangkaan kreativitas, ketakmampuan berdisiplin, ketakmampuan menyelesaikan
persoalan, berbagai bentuk pertengkaran sosial-politik yang naif, hingga
korupsi, kolusi dsb. yang terus saja mendera kita, adalah produk dari tidak
berhasilnya sistem pendidikan melepaskan kita dari struktur mentalitas budak.
Memang tidak mudah.
Kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia
yang terjajah. Pendidikan awal yang kita kenyam adalah pendidikan untuk
melahirkan pegawai administratif murah bagi pemerintah Belanda (meski Belanda
menganggapnya sebagai tindakan “balas-budi” terhadap Indonesia). Sedang setelah
merdeka pun pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde
Baru lebih kentara lagi bahwa pendidikan diperlakukan sebagai sarana
pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status
quo. Serentak pula ia merupakan pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa
kapitalisme global. Demikian sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian
mentalitas kuli secara sistematis.
Ada berbagai sistem
pendidikan yang telah ditawarkan para pemikir menuju arah yang lebih ideal,
sejak para filsuf Yunani kuno hingga para pemikir kontemporer macam Freire atau
Illich dengan tendensi anarkisnya. Semua itu umumnya sangat ditentukan oleh asumsi
dasar di belakangnya yang berbeda-beda, oleh worldview ontologisnya (dunia dan
hidup ini apa, serta manusia ini siapa). Alam berpikir feodal dan otoriter
serta pola kolektivisme di Indonesia masih sangat dominan. Dalam kerangka
seperti ini kiranya masih kuat pula anggapan dasar bahwa pendidikan adalah
proses menyiapkan individu untuk menjadi anggota masyarakat dan untuk masuk ke
dalam pola struktur-struktur yang ada. Dengan kata lain, pendidikan masih
dilihat dalam kerangka proses “sosialisasi”, penjinakan individu ke dalam
kelompok dan struktur status quo.
Konteks konkrit
Indonesia macam di atas itu mengesampingkan fungsi lain yang penting dalam
pendidikan, yaitu bahwa pendidikan juga mestinya memampukan individu
mengubah/mentransformasi struktur-struktur yang ada, terutama ketika
struktur-struktur itu telah berubah menjadi jaringan kanker ganas yang tak
disadari, sementara masyarakat terasa amat stagnan seperti tak lagi punya
cita-cita. Namun untuk menjalankan fungsi kritis transformatif ini, mau tak
mau, pendidikan harus berfokus pada manusia sebagai individu yang mandiri.
Segala bentuk interaksi sosial kolektif mesti mendukung kemandirian individu
ini. Memang paradoks. Tapi negeri ini membutuhkan hal itu. Telah terlampau lama
di negeri ini tak ada individu. Satu-satunya individu yang eksis hanyalah raja
atau presiden, selebihnya adalah para abdi-dalem yang hanya eksis sejauh sang
Raja memperkenankannya. Kondisi kemanusiaan Indonesia sudah selalu dibentuk
oleh sejarah penjajahan, baik oleh bangsa asing atau pun oleh bangsa sendiri.
Kalau pun figur raja atau presiden kelak sudah bukan lagi yang tertinggi, maka
kolektivitaslah yang akan menggantikannya, sekurang-kurangnya untuk sementara.
Kolektivitas adalah wajah anonim, namun bisa sangat berkuasa menentukan segala
pola pikir dan pola tindak. Selagi Indonesia belum mampu melahirkan
individu-individu yang kuat dan mandiri, kolektivitas alias “massa” inilah yang
akan menjadi monster utama. Dan sejauh itu pula agaknya pendidikan masih akan
berpola ”sosialisasi” macam kegiatan peternakan bebek.
Kolektivitas itu
bisa tampil dalam berbagai wajah: suku, agama, partai politik, ideologi,
profesi, dst. Celakanya wajah-wajah ini kini justru sangat memikat oleh sebab
hari-hari ini situasi dirasakan teramat merdeka secara mendadak hingga
melahirkan banyak kebingungan dan kegamangan. Para abdi-dalem tiba-tiba
mendapat peluang untuk menjadi individu sementara sebenarnya sama sekali tak
siap untuk itu dan tak tahu bagaimana mesti berperilaku di alam bebas ini.
Kebingungan ini akan sangat menggoda untuk cepat-cepat cari aman: berlindung
lagi pada kelompok, alias timbulnya neo-tribalisme. Dalam suasana
neo-tribalisme ini segala pola pendidikan transformatif kritis justru mudah
dicurigai. Tapi barangkali ini tak menjadi soal benar, bila kita memang merasa
lebih tenteram hidup sebagai bebek-bebek dalam sebuah peternakan yang penuh
harmoni ini, apalagi bila harmoni status quo ini diyakini sebagai harmoni
ketimuran asli.
Ralpf Waldo Emerson
suatu kali bilang bahwa bila tak ada individu yang mampu berpikir dan bersikap
mandiri, maka kelompok manusia akan mudah berubah menjadi kawanan binatang buas
atawa kumpulan atom tak bernyawa , yang biasa kita sebut “massa”. Di sisi lain,
kalau pun situasi saat ini telah memungkinkan tampilnya individu, maka model
pertama yang segera dijadikan acuan identifikasi umumnya adalah individu
penindasnya dahulu. Memang ironis. Individu-individu akan bermunculan sebagai
penindas-penindas kecil atau, sebaliknya, sebagai orang-orang yang terampil
menutupi ketakmampuannya untuk mandiri dengan menekankan terus-menerus perlunya
hidup kelompok melalui omongan-omongan yang tampak elegan.
Pendidikan yang
kritis dan transformatif akan memampukan individu mengenali struktur-struktur
terselubung yang menindas, juga struktur yang diam-diam bekerja dalam dirinya
sendiri; memampukannya terus-menerus membebaskan diri dari struktur-struktur
itu. Ini bukan hal yang terlampau utopis, oleh sebab kuncinya adalah: kemampuan
mengartikulasikan diri dan realitas secara bebas. Untuk itu pentinglah bahwa
kurikulum bukan hanya “tentang” dunia dan kehidupan, melainkan terutama “dari”
dan “dalam” dunia dan kehidupan yang konkrit ini. Maka segala bentuk
pengungkapan persoalan konkrit alias “problem posing” menjadi salah satu
kuncinya untuk bisa memasuki wilayah “problem solving”. Pada titik inilah
artikulasi seni tentang masalah pendidikan sangat relevan. Logika imaji dan
rasa dari wilayah seni biasanya mampu mengangkat persoalan dari sudut
kekonkritan pengalaman. Dan ini persis yang kita butuhkan.[]
PIDATO KELULUSAN SMA SEBUAH OUTO KRITIK
Bercermin terhadap sebuah Pidato Kelulusan
Pelajar SMA di Negeri Paman Syam. Pidato ini ternyata mampu menggetarkan dan menggugat kesadaran kita atas makna sistem
pendidikan, pidato ini diucapkan oleh Erica Goldson, pelajar di
Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010.
Mari kita cermati ungkapan seorang pelajar ini dengan hati yang bening :
“Saya lulus.
Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan,
terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah
direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar
dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya
memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya
dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya
berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode
indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut
yang akan datang kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang
mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi
saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan
pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di
dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan
kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku
secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian
menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan
menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat
anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca
hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat
yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS,
walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya
ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah
bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya?
Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau
saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya
tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi,
karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya
lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk
belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”
GURU MBELING
Oleh SIDHARTA SUSILA
Bagi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 sudah beres. Akan tetapi,
bagi sejumlah pengamat dan kelompok peduli pendidikan, kurikulum ini masih
perlu dikritisi serta disempurnakan. Beberapa di antaranya bahkan secara tegas
menolak.
Siapkah para
guru menerapkan kurikulum ini? Rasanya kita butuh guru-guru mbeling ketika
menerapkan Kurikulum 2013.
Istilah
mbeling yang berasal dari bahasa Jawa menyiratkan sifat nakal, suka memberontak
terhadap kemapanan, dan sering kali melakukan tindakan di luar kebiasaan.
Namun, mbeling berbeda dengan asal-asalan. Pada mbeling terkandung unsur
kesadaran, nalar, serta tanggung jawab atas ekspresi mbelingnya. Mbeling
dipilih demi memperjuangkan hal-hal yang prinsip. Pada mbeling sesungguhnya
mensyaratkan kesadaran, kecerdasan, otentisitas, tanggung jawab, serta
keberanian.
Sikap mbeling
sering kali dipilih bukan demi kepentingan diri semata. Sikap mbeling sering
kali justru dipilih untuk memperjuangkan dan merawat kehidupan. Karena itu,
mbeling sering kali menjadi ekspresi panggilan jiwa untuk memperjuangkan
prinsip dan merawat kehidupan.
Guru mbeling
adalah guru yang sadar akan panggilan jiwanya sebagai pendidik. Guru mbeling
sadar akan hal-hal yang membatasi kreativitas dan perjuangan mendidik dengan
benar serta bertanggung jawab. Demi prinsip pendidikan, martabat, dan panggilan
jiwanya sebagai pendidik, ia berani bersusah-susah dan memperjuangkan
pembelajaran di luar kebiasaan.
Dunia
pendidikan bertaburan guru mbeling. Dari merekalah kini kita bisa beroleh
inspirasi serta terobosan-terobosan pembelajaran. Cara didik Anne Sullivan
terhadap Helen Keller adalah salah satu contohnya. Kembelingan Anne Sullivan
tidak hanya menyelamatkan Helen Keller. Mereka melahirkan metode pembelajaran
yang mencerahkan nasib berjuta anak buta dan tuli.
Guru Erin
Gruwell pada film Freedom Writers adalah contoh lain guru mbeling. Sikapnya
yang pantang menyerah terhadap kelasnya yang urakan dan mencekam, serta
pesimisme rekan guru di sekolahnya, membuat tubuhnya dilimpahi adrenalin.
Ekspresi mbelingnya mewujud dalam keberanian menentukan formasi tempat duduk
para muridnya, membuat dinamika kelompok untuk mencairkan ketegangan, juga
kreativitasnya menuntun para murid untuk mencairkan beban hidup lewat penulisan
buku harian. Buah laku mbeling Erin Gruwel adalah solidaritas dan gairah
belajar para muridnya.
Ada juga Mr
Sosaku Kobayashi, kepala sekolah Tomoe Gakuen tempat Totto-chan belajar (pada
novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela). Sikap mbelingnya menciptakan
kesempatan belajar bagi banyak anak ”aneh” yang karena ”keanehannya” tak punya
tempat belajar di sekolah ”normal”. Keberanian Mr Kobayashi meramu model
pembelajaran yang tidak biasa pada masa itu adalah ekspresi sikapmbelingnya
yang nyata. Di Indonesia, pendidik mbeling pernah hadir pada sosok Romo Mangun
dengan SD Mangunannya itu.
Konteks
Kurikulum 2013
Guru mbeling
nan unik lainnya adalah Wei Minzhi pada film Not One Less. Ia guru pocokan.
Usianya 13 tahun. Guru Wei akhirnya mbeling karena harus mencari Zhang Huike,
murid bengal yang terpaksa harus ke kota demi mencari uang untuk pengobatan
ibunya. Seperti digagas Emmanuel Levinas, perlahan, tahap demi tahap, nurani
guru Wei terkoyak oleh paparan duka muridnya. Koyakan nurani yang serentak
menuntut tanggung jawab moral itulah yang menjadikan guru Wei mbeling.
Opini
mengenai Kurikulum 2013 yang telah banyak dibahas di Kompas mestinya memancing
sikapmbeling para guru di negeri ini. Sejumlah alasan mestinya mengoyak nurani
pendidik dan serentak merasa dituntut ikut bertanggung jawab. Sebutlah,
misalnya, analisis Kurikulum 2013 yang absurd, tidak menampung keinginan tahu,
pembentukan sikap kritis, pendangkalan materi, kelemahan pembelajaran bahasa,
hingga kurang matangnya program pelatihan (Kompas 22/2; 24/3).
Memang tidak
mudah membuat kurikulum yang sempurna. Karena itu, seperti kata Anita Lie
(26/2), hendaklah guru sadar bahwa ia harus menjadi sopir yang baik saat
mengemudikan Kurikulum 2013 kelak. Hanya sopir yang baik yang dapat membawa
penumpang (baca: murid) sampai di tempat yang benar dengan selamat.
Sesungguhnya
guru yang berperan sebagai sopir yang baik bagi kurikulum yang masih ditemukan
banyak kelemahan meniscayakan keberanian, kecerdasan, tanggung jawab moral,
bahkan kepiawaian mengemudikan dengan cara-cara yang tidak biasa. Itu artinya,
demi suksesnya Kurikulum 2013 guru negeri ini wajib mbeling.
Beranikah
para guru kita bersikap mbeling dalam mengemudikan Kurikulum 2013? Improvisasi
dan ragam pembelajaran mbeling sering kali tak mudah dilakukan di negeri ini.
Salah satu hadangan berat adalah ketika pada akhirnya harus menjalani
perhelatan ujian nasional. Pembelajaran mbeling, meski demi kepentingan anak
didik, akhirnya menjadi pertaruhan.
Masih berani
menjadi guru mbeling?
Langganan:
Postingan (Atom)