Jarak
Idealisme Kurikulum dan Realitas
Senin,
6 Mei 2013 | 11:25 WIB
Pengantar
Perubahan
Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013 disikapi berbeda oleh berbagai pihak.
Sejauh mana kurikulum itu mendesak diterapkan di tengah problematika guru dan
infrastruktur pendidikan? Litbang Kompas menyelenggarakan
Survei Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 untuk melihat sejauh mana
kesenjangan terjadi. Analisis survei akan dipaparkan secara terpisah dalam 5
tulisan dan diturunkan setiap hari Sabtu dan Senin selama 3 minggu ke depan. ***
Pendidikan
adalah harapan. Rencana penerapan Kurikulum 2013 mekar dengan harapan itu.
Indonesia ditargetkan mampu menjawab tantangan masa depan peradaban yang
berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Alih-alih menebar harapan yang
sama, penerapan Kurikulum 2013 menuai polemik.
Di atas
kertas, muatan idealisme Kurikulum 2013 berjarak dengan realitas praktik
pendidikan di daerah.
Kurikulum
2013 bertitik tolak dari gagasan untuk merebut peluang bonus demografi dalam
tiga dekade mendatang. Tujuan kurikulum ini adalah mencetak generasi 2045 yang
berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan
tematik integratif, kurikulum ini mengembangkan kompetensi inti sebagai
integrator horizontal yang mengikat keseluruhan mata pelajaran dan jenjang
pendidikan sebagai kesatuan.
Dalam
praktiknya di tingkat SD-SMP, kurikulum ini meleburkan materi sejumlah mata
pelajaran ke dalam mata pelajaran lain. Jumlah mata pelajaran pun berkurang
sehingga struktur kurikulum terkesan padat dan ringkas.
Sebagai
strategi pendidikan, Kurikulum 2013 diposisikan sebagai simpul kritis dalam
proses konsolidasi demokrasi. Dalam salah satu artikelnya, Wakil Presiden
Boediono memaparkan bahwa pendidikan merupakan kunci pembangunan penentu
kemajuan bangsa (Kompas, 27/8/2012). Rumusan kurikulum baru ini memang
terinspirasi dari pengalaman Amerika Serikat yang menempatkan institusi
pendidikan sebagai pilar utama demokrasi.
Secara
substantif, gagasan ini menempatkan anak didik dalam dua sisi peran, yakni
sebagai warga negara penopang sistem demokrasi sekaligus sumber daya manusia
pemutar sistem ekonomi. Pendidikan umum membekali anak didik dengan sikap dan
keterampilan dasar (soft skills) untuk berkarya menjadi warga negara negara
yang baik. Sementara itu, pendidikan khusus memberikan kemampuan siap kerja
(hard skills) di bidang-bidang tertentu.
Pemerintah
juga mempersiapkan strategi demi kesesuaian antara kurikulum baru ini dengan
latar belakang guru yang beragam. Terdapat tiga unsur pendukung pelaksanaan,
yakni ketersediaan buku sebagai panduan bahan ajar dan sumber belajar,
penguatan peran pemerintah daerah dalam pembinaan dan pengawasan, dan penguatan
manajemen budaya sekolah.
Saat
ini, tengah dibentuk tim utama yang terdiri dari guru-guru inti sebagai ujung
tombak pelaksanaan kurikulum baru di lapangan.
Berjarak dengan realitas
Namun,
tampaknya jurus di atas masih kuat di atas kertas. Relevansi kebijakan
pendidikan nasional di satu sisi dengan kondisi infrastruktur pendidikan di
sisi lain menjadi tema sentral dalam Survei Kompas mengenai Guru dan Kualitas
Pendidikan Nasional 2013. Survei ini menjaring opini 512 guru dari SD dan SMP
negeri dan swasta di delapan ibu kota provinsi.
Hasilnya,
secara garis besar kebijakan pemerintah di bidang pendidikan merupakan hal yang
relatif ketika dihadapkan pada kemampuan guru di daerah.
Sejumlah
kebijakan, seperti penyediaan sarana dan prasarana sekolah, perubahan kurikulum
dari masa ke masa, sertifikasi guru, dan standardisasi ujian nasional,
merupakan kebijakan makro yang manfaatnya berjarak dengan praktik pendidikan
dalam keseharian guru dan murid. Sertifikasi guru, misalnya, tidak menyentuh
langsung aspek kemampuan dan karakter individual guru. Sebagian besar guru
dinilai masih bertipe mediocre yang cenderung memiliki keterbatasan dalam
pengayaan materi dan metode pengajaran. Peran guru pun sebatas pelaksana
kurikulum, bagian dari birokrasi pendidikan.
Kondisi
ini menyebabkan Kurikulum 2013 menjadi problematik dalam pelaksanaannya
mengingat kurikulum ini mensyaratkan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan (PTK) yang memadai. Apalagi, guru memperlihatkan orientasi nilai
yang kompleks, dengan kontinum pemahaman beragam, yakni konservatif dalam nilai
keagamaan di satu sisi, namun liberal dalam pemahaman pendidikan.
Menjelang
dua bulan pelaksanaan, sosialisasi Kurikulum 2013 masih kedodoran di lapangan.
Survei memperlihatkan sosialisasi masih sangat minim di sejumlah wilayah.
Sosialisasi baru sebatas formalitas pada SD-SMP favorit papan atas di wilayah
perkotaan. Itu pun tidak mampu menjamin pemahaman yang optimal terhadap
Kurikulum 2013.
Padahal,
perubahan kurikulum ini membutuhkan perubahan paradigma berpikir guru terkait
pendekatan dan teknik pengajaran, terutama pada mata pelajaran yang
terintegrasi, seperti IPA, IPS, dan Bahasa. Selain itu, perubahan struktur
kurikulum juga memunculkan sejumlah persoalan teknis seperti jam mengajar per
minggu guru sertifikasi yang tidak terpenuhi dan kelebihan tenaga guru akibat
sejumlah mata pelajaran dihilangkan.
Idealnya,
Kurikulum 2013 diikuti dengan pelatihan guru agar idealisme baru dapat
tertangkap lebih utuh dan dilaksanakan optimal. Kemampuan pengajaran para guru
saat ini masih merupakan hasil dari pendidikan tinggi keguruan yang mengacu
pada kurikulum lama, yakni guru di tingkat SD dididik untuk menguasai berbagai
bidang yang diajarkan di tingkat SD. Sementara itu, guru SMP diarahkan untuk
memiliki kebidangan.
Kebingungan
teknis semacam itu mencerminkan bahwa perubahan kurikulum perlu dilakukan
secara bertahap. Kontroversi yang berkembang seputar Kurikulum 2013 selama ini
tidak terlepas dari perbedaan pandangan antara pemerintah sebagai penentu
kebijakan di tingkat pusat dan kesiapan guru sebagai pelaksana di daerah yang
memiliki kemampuan berbeda-beda.
Bingkai demokratisasi
Saat
ini, pemerintah telah menurunkan target implementasi Kurikulum 2013. Pada
tingkat SD dari 30 persen menjadi 5 persen, jenjang SMP dari 20 persen menjadi
7 persen. Kurikulum baru diterapkan di kelas I dan IV di tingkat SD dan kelas
VII di jenjang SMP. Adapun di tingkat SMA/SMK tetap 100 persen di kelas X,
artinya diterapkan di 11.572 SMA dan 10.685 SMK di seluruh Indonesia.
Berkaca
dari pengalaman sebelumnya, penetapan Kurikulum 2013 adalah perubahan kurikulum
yang ketiga kali sejak masa reformasi 1998. Secara substansial, belum terlihat
visi yang hendak dicapai terkait dengan bingkai demokratisasi. Sekolah masih
bergulat mempersoalkan teknis standardisasi dan evaluasi hasil pendidikan.
Persoalan inilah yang harus dijernihkan dulu supaya Kurikulum 2013 itu tidak
sekadar menjadi macan kertas.
(Indah
Surya Wardhani/Litbang Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar