Manusia kritis dan pejuang kemerdekaan
pada zaman kolonialisme Belanda disebut pemberontak atau ekstrimis. Pemerintah selalu alergi terhadap “pejuang”
yang mengkritisi dan melawan kebijakannya. Setiap zaman selalu melahirkan
manusia-manusia kritis yang berseberangan dengan paradigma pemerintah. Sebut
saja Retno Listyarti, seorang guru SMAN 13 Jakarta yang sering berseberangan
dengan kebijakan pemerintah. Ia adalah guru “pemberontak” yang terus
menyuarakan keadilan dalam dimensi pendidikan.
Ia pernah berseberangan dengan kepala
dinas pendidikan Jakarta, menyuruh mundur mendiknas, melawan keputusan gubernur
DKI Jakarta tentang tunjangan guru, bahkan sampai bermasalah hukum dengan Akbar
Tanjung karena buku pelajaran yang ditulisnya. Ia mengkritisi berbagai dinamika
pendidikan mulai dari SKB 5 menteri, organisasi profesi, soal UN, RSBI, masalah
MGMP, lemahnya militansi guru, pengangkatan kepala sekolah, politisasi profesi
guru, kurikulum 2013 dll.
Ditengah pemberontakannya terhadap dunia
pendidikan Iapun memiliki prestasi diantaranya adalah; Pemenang citi succes
fund dari City Bank (2004); Penerima Award dalam bidang science dari Toray
Foundation Japan (2004); Pemenang Go Green School dari Yayasan Kehati (2005);
Penerima Award sebagai tokoh pendidikan dari PKS (2007); Juara 1 Lomba Karya
Tulis “Kata Mutiara Bung Karno” dari PDIP (2010); Juara 1 Lomba Karya Tulis
Lingkungan dari Pertamina (2011); Juara 1 Lomba Karya Tulis Konstitusi dari
Mahkamah Konstitusi (2011) plus Retno sudah menghasilkan 9 buah buku,47
artikel, dan 89 makalah.
Munculnya sistem lelang jabatan kepala
sekolah membuat Ia berpeluang mengikuti seleksi yang sebelumnya tidak mungkin.
Mengapa demikian? Karena menjadi kepala sekolah harus ada rekomendasi dari
kepala sekolah sebelumnya. Tanda tangan kepala sekolah inilah yang menurut
Retno Listyarti tidak terlalu penting karena dimungkinkan ada unsur KKN. Tanda
tangan dapat menjadi tanda “penutup” saldo dan manajemen gelap sebelumnya.
Akhirnya Ia terpilih menjadi kepala sekolah hasil sistem lelang. Ini sebuah
kesempatan bagi “ sang pemberontak” untuk memperbaiki pendidikan secara mikro
di satuan pendidikannya dan secara makro di Indonesia.
Ada beberapa pernyataan Retno Listyarti
“Sang Pemberontak” sebelum Ia menjadi kepala sekolah tahun ini 2014 terhadap
eksisitensi guru. Pernyataan itu diantaranya adalah; guru jarang (tidak)
memiliki militansi untuk memperjuangkan idealisme pendidikan, lebiah senang
hanya berdoa atau titip doa bukan terjun langsung kelapangan. Guru dengan
organisasinya selama ini tidak mampu memiliki posisi tawar yang tinggi dan
sederajat atas berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia. Organisasi guru
selama ini cenderung menjadi legitimasi atas berbagai kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan.
Selanjutnya Retno menyatakan, guru
sebaiknya berani melawan ketidakadilan—berbagai diskriminasi dalam segala
bentuk, guru harus mampu mengajak siswanya untuk berbagi keresahan akan kondisi
negeri ini. Guru harus mampu mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan
murid-muridnya. Guru adalah sebuah kekuatan raksasa untuk mengubah negeri ini,
namun sayangnya para guru Indonesia merupakan raksasa yang tertidur sangat
lelap —saking lelapnya sampai tidak terbangun meski memperoleh berbagai
gangguan berat apalagi ringan—, benar-benar terlelap hingga tak bergerak –tak
melawan– meskipun didiskriminasi, diintimidasi, bahkan ditindas.
Guru cenderung menerima begitu saja
perlakuan dari birokrasi pendidikan yang berkolaborasi dengan kekuasaan tanpa
membantah, tanpa melawan dan tanpa memberontak. Karena dia (para guru) juga
pengecut maka dia pun (para guru) tidak pernah mengajak muridnya untuk berani
menegakan kebenaran dan keadilan, apalagi mengajak untuk menjadi pemberontak.
Kondisi guru Indonesia yang seperti ini,
tentu saja penghambat utama dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan
berkeadilan. Retno bertanya, Apa kita akan menunggu sampai terjadinya Revolusi
setelah keadaan Indonesia seperti di Libya, Mesir, Bahrain dan Yaman? Di
negara-negara tersebut, Pemerintah mengabaikan pendidikan, sehingga menciptakan
kesenjangan sosial dan ekonomi, tingginya pengangguran, dan tingginya angka
penduduk yang buta aksara, serta tingginya angka kemiskinan.
Pernyataan Retno
Listyarti di atas setidaknya menjadi sebuah “jabatan” tangan dari Retno agar
para guru harus lebih kritis, meningkatkan kompetensi dan tidak diam dan hanya
titip doa dalam memperjuangkan sebuah idealisme. Guru adalah raksasa yang harus
bangun memperbaiki kelemahan pendidikan negeri ini bukan sebaliknya, tidur
ngorok dan susah dibangunkan. Guru jangan hanya bangun ketika negeri ini sudah
terlambat untuk diperbaiki.Penulis :Dudung Koswara, M.Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar