Sering
kali keluguan dan kejujuran anak-anak membukakan sebuah kenyataan. Hal ini pula
yang saya alami sesaat setelah mendengar cerita dari Muhammad Taffarel Al
Ghazali. Dia bercerita tentang sekolah yang membuatnya bahagia dan betah berada
di dalamnya. Bukan sekolah yang mewah dengan fasilitas segudang,atau bukan pula
sekolah dengan guru-guru terbaik bergelar sejagad. Bukan itu ternyata, ianya
hanyalah sebuah sekolah yang guru-gurunya selalu menebar senyum dan keramahan
padanya. Senyum dan keramahan itulah yang membuatnya merasa nyaman dan aman
berada di dalamnya. Dan itulah sekolah yang baik baginya.
Muhammad
Taffarel Al Ghazali ini mencoba membandingkan sekolahnya saat ini (sebuah
Sekolah dasar negeri) dengan sekolah yang baru di kenalnya tadi. Bukan
tanpa alasan jika dia membandingkan dan kemudian menarik kesimpulan semacam
itu. Kesimpulannya tidak datang tiba-tiba,mengingat ada sebuah peristiwa yang
melatarbelakanginya. Suatu pagi, dia pulang kerumah membawa sebuah tangisan
dengan ekspresi wajah aneh. Ekspresi wajahnya mengguratkan ketakutan dan
rasa bersalah yang dalam. Setelah di Tanya barulah dia menjelaskan alasan
dibalik kepulangannya pagi itu. Rupanya sang guru membentaknya di depan
teman-temannya. Hanya karena dia tidak membawa buku PR Matematikanya.
Kemudian dijelaskan kepada saya mengapa dia tidak membawanya,alasannya cukup
rasional,karena pada hari itu tidak ada pelajaran Matematika. Keputusannya
untuk tidak membawa buku Matematika dalam hal ini benar adanya. Dia mencoba
menaati aturan-aturan yang dibuat bersama dengan guru dan kelasnya. Sejak
peristiwa itu dia selalu diliputi oleh ketakutan dan kekawatiran akan amarah
sang guru. Tangisan adalah ungkapan emotionalnya jika lupa membawa sesuatu atau
salah melakukan sesuatu sesuai perintah gurunya. Saya sangat bersedih ,karena
peristiwa itu telah melumpuhkan salah satu syaraf percaya dirinya.
Dan
cerita diatas mengingatkan saya pada sebuah cerita lain berjudul The Little Boy. Seorang anak kecil yang
datang ke sekolah dengan perasaan senang dan bahagia. Rasa-rasanya tidak ada
hari sebahagia saat pertama kali mengenyam bangku sekolah itu.Suatu
pagi,gurunya berkata”hari ini kita akan menggambar”. “Horee” jawab The Litle Boy.Dia memang senang sekali
menggambar,dari singa,macan,ayam sampai sapi. Lalu mulailah dia mengambil
crayon dan menggores-goreskan di buku gambarnya.Tapi,” tunggu,waktunya
belum mulai”seru gurunya.”Sekarang,kita akan menggambar bunga”kata gurunya.”Horee”,jawab
the little boy yang suka menggambar bunga. Dia mulai membuat bunga dengan warna
pink dan kuning. Namun gurunya berkata,”Tunggu,akan aku tunjukkan bagaimana
caranya”!. Sang guru menggambar sebuah bunga di papan,berwarna merah dengan
batangnya yang berwarna hijau.”Ini dia contoh bunganya,sekarang silahkan
menggambar!”pintanya lagi.
The little boy melihat gambar gurunya dan
kemudian melihat gambarnya sendiri,dia lebih suka gambarnya dari pada gambar
gurunya,namun ia tidak katakan hal ini pada gurunya.Lalu ia meremas-remas
kertas gambarnya dan membuat gambar sebagaimana contoh dari gurunya.
Akhirnya The Little Boy dan keluarganya pindah ke
daerah lain. Dan pergi ke sekolah baru. Sekolahnya yang baru lebih besar namun
tidak memiliki pintu. Suatu pagi,gurunya datang dan berkata” hari ini kita akan
membuat sebuah gambar!”. Horee jawab the
little boy. Dan dia menunggu instruksi gurunya lebih lanjut.Namun
sang guru tidak berkata apa-apa,dia hanya berjalan keliling kelas,dari satu
meja ke meja lainnya. Saat dia sampai di meja the little boy,sang guru berkata “tidakkah anda ingin membuat
sebuah gambar?. “ya, katathe little boy. “Gambar
apa yang akan kita buat? Kata the little
boy. “Saya tidak tahu kalau tidak engkau beri contoh!”,kata the little boy lagi.”Bagaimana cara
membuatnya? Rengek sang little boy. “Dan
warnanya bagaimana? “warnanya yang kamu sukai?jawab sang guru. Kemudian gurunya
bertanya”Jika semua siswa membuat gambar yang sama,warna yang sama,apakah saya
tahu siapa membuat apa,mana punyamu dan mana punya temanmu? Kata gurunya
lagi.”Saya tidak tahu” jawab the little
boy. Dan anak itu akhirnya membuat bunga berwarna pink dengan
batang berwarna kuning dan bunga berwarna biru.sang anak kecil itu menyukai
sekolahnya yang baru,meski tidak memiliki daun pintu!”.
Dari dua
cerita tersebut diatas, kita menyaksikan sekolah-sekolah yang telah
kehilangan sifat kekanak-kanakannya dewasa ini. Sekolah bukan lagi
menjadi tempat terindah kedua bagi anak,melainkan kadang berubah menjadi
penjara yang mematikan kreatifitas yang ada di dalamnya. Anak-anak menjadi
robot yang dikendalikan oleh sebuah system kaku bernama kurikulum. Pendidiknya
berlomba-lomba mengejar target –target akademik yang kadang menisbihkan sifat
kekanakan anak-anak yang butuh bermain, sentuhan,kasih sayang dan gurauan.
Akibat dari tidak banyak tersentuhnya sisi-sisi emotional semacam ini sekolah
menjadi kering bahkan menjadi tempat tidak nyaman. Konon untuk melihat apakah
sekolah itu menyenangkan atau tidak, pengujinya sangat sederhana. Lihatlah
respon yang diberikan oleh anak didik saat bel panjang tanda pelajaran selesai
berbunyi. Jika bunyi bel itu dibarengi dengan tepuk tangan atau luapan
kegembiraan lainnya, bisa dipastikan kelasnya tidak nyaman alias
menjemuhkan,atau pada tahap yang lebih ekstrim kelas yang memenjarakan. Pengalaman seorang kolega berikut di
pendidikan Jepang mungkin bisa menginspirasi kita.
Sebentar
lagi kita akan menyaksikan euphoria anak-anak tersebut sekeluarnya dari sekolah
(kelulusan UNAS). Pawai bermotor, aksi corat-coret, tawuran, bahkan aksi non
etis lainnya yang banyak kita temui di seantero Indonesia. Mereka seolah-olah
menjadi bringas, tak beraturan dan dalan kasus tertentu tidak beradab Itulah
ekspresi kegembiraan mereka setelah terkungkung dalam “penjara “ bernama kelas.
Memang ini bukan semata-mata akibat pendidikan di sekolah, namun peran sekolah
tidak kecil adanya dalam pembentukan karakter anak tersebut.
Masihkah
kita berdiam diri dalam kenyataan pahit ini? Relakah kita jika anak-anak didik
kita hanya menjadi penebar terror macam gang motor, penjual sensualitas
berbalut video porno. Saya yakin hati kecil kita menangis,melihat semua
kebobrokan ini. Kitalah yang diharapkan menjadi pilar utama perubahan
itu,kitalah yang menjadi harapan terakhir bangkitnya generasi-generasi emas
yang akan membawa kejayaan majapahit dan sriwijaya ke pentas dunia. Kitalah
yang memiliki peluang besar untuk mengukir sejarah besar itu kemudian hari.
Ya,dari prilaku dan kepengasuhankitalah anak-anak bringas dan tidak berbudaya
itu akan kembali kepangkuan pendidikan yang sebenarnya: menumbuhkan kesadaran
dan kemuliaan budi pekerti.Semoga kita bisa menjadi contoh yang baik dari generasi
yang banyak harinya diisi oleh kegalauan akan karut marutnya bangsa ini. Semoga
kita bisa menjadi contoh nyata,saat mereka kehilangan pegangan dan tauladan
oleh keganasan prilaku tak bermoral dan korup para pemimpin negeri ini. Dan
berbanggalah,karena kitalah yang dinanti perannya untuk melahirkan generasi
emas bagi Indonesia yang lebih baik. Bangkitlah guruku,selama mentari terbit di
ufuk timur kita selalu tersenyum penuh harapan.
Pasted
from <http://subekti.com/2012/05/03/arti-senyuman-sang-guru/>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar