href='http://www.blogger.com/favicon-image.g?blogID=5195730972603891725' rel='icon' type='image/x-icon'/>

Selamat Datang/Wilujeng Sumping

Selamat datang di blog ini semoga mampu memberi manfaat bagi kita semua

Memory in al-fatah

Album Foto Sdit Al Fatah Slideshow: Nana’s trip from Bekasi, Java, Indonesia to Jakarta was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Senin, 10 September 2012

Arti Sebuah Senyuman Seorang Guru


Sering kali keluguan dan kejujuran anak-anak membukakan sebuah kenyataan. Hal ini pula yang saya alami sesaat setelah mendengar cerita dari Muhammad Taffarel Al Ghazali. Dia bercerita tentang sekolah yang membuatnya bahagia dan betah berada di dalamnya. Bukan sekolah yang mewah dengan fasilitas segudang,atau bukan pula sekolah dengan guru-guru terbaik bergelar sejagad. Bukan itu ternyata, ianya hanyalah sebuah sekolah yang guru-gurunya selalu menebar senyum dan keramahan padanya. Senyum dan keramahan itulah yang membuatnya merasa nyaman dan aman berada di dalamnya. Dan itulah sekolah yang baik baginya.
Muhammad Taffarel Al Ghazali ini mencoba membandingkan sekolahnya saat ini (sebuah Sekolah dasar negeri) dengan sekolah yang baru  di kenalnya tadi. Bukan tanpa alasan jika dia membandingkan dan kemudian menarik kesimpulan semacam itu. Kesimpulannya tidak datang tiba-tiba,mengingat ada sebuah peristiwa yang melatarbelakanginya. Suatu pagi, dia pulang kerumah membawa sebuah tangisan dengan ekspresi wajah aneh. Ekspresi wajahnya  mengguratkan ketakutan dan rasa bersalah yang dalam. Setelah di Tanya barulah dia menjelaskan alasan dibalik kepulangannya pagi itu. Rupanya sang guru membentaknya di depan teman-temannya. Hanya  karena dia tidak membawa buku PR Matematikanya. Kemudian dijelaskan kepada saya mengapa dia tidak membawanya,alasannya cukup rasional,karena pada hari itu tidak ada pelajaran Matematika. Keputusannya untuk tidak membawa buku Matematika dalam hal ini benar adanya. Dia mencoba menaati aturan-aturan yang dibuat bersama dengan guru dan kelasnya. Sejak peristiwa itu dia selalu diliputi oleh ketakutan dan kekawatiran akan amarah sang guru. Tangisan adalah ungkapan emotionalnya jika lupa membawa sesuatu atau salah melakukan sesuatu sesuai perintah gurunya. Saya sangat bersedih ,karena peristiwa itu telah melumpuhkan salah satu syaraf percaya dirinya.
Dan cerita diatas mengingatkan saya pada sebuah cerita lain berjudul The Little Boy. Seorang anak kecil yang datang ke sekolah dengan perasaan senang dan bahagia. Rasa-rasanya tidak ada hari sebahagia saat pertama kali mengenyam bangku sekolah itu.Suatu pagi,gurunya berkata”hari ini kita akan menggambar”. “Horee” jawab The Litle Boy.Dia memang senang sekali menggambar,dari singa,macan,ayam sampai sapi. Lalu mulailah dia mengambil crayon dan menggores-goreskan  di buku gambarnya.Tapi,” tunggu,waktunya belum mulai”seru gurunya.”Sekarang,kita akan menggambar bunga”kata gurunya.”Horee”,jawab the little boy yang suka menggambar bunga. Dia mulai membuat bunga dengan warna pink dan kuning. Namun gurunya berkata,”Tunggu,akan aku tunjukkan bagaimana caranya”!. Sang guru menggambar sebuah bunga di papan,berwarna merah dengan batangnya yang berwarna hijau.”Ini dia contoh bunganya,sekarang silahkan menggambar!”pintanya lagi.
The little boy melihat gambar gurunya dan kemudian melihat gambarnya sendiri,dia lebih suka gambarnya dari pada gambar gurunya,namun ia tidak katakan hal ini pada gurunya.Lalu ia meremas-remas kertas gambarnya dan membuat gambar sebagaimana contoh dari gurunya.
Akhirnya The Little Boy dan keluarganya pindah ke daerah lain. Dan pergi ke sekolah baru. Sekolahnya yang baru lebih besar namun tidak memiliki pintu. Suatu pagi,gurunya datang dan berkata” hari ini kita akan membuat sebuah gambar!”. Horee jawab the little boy. Dan dia menunggu instruksi gurunya lebih lanjut.Namun sang guru tidak berkata apa-apa,dia hanya berjalan keliling kelas,dari satu meja ke meja lainnya. Saat dia sampai di meja the little boy,sang guru berkata “tidakkah anda ingin membuat sebuah gambar?. “ya, katathe little boy. “Gambar apa yang akan kita buat? Kata the little boy. “Saya tidak tahu kalau tidak engkau beri contoh!”,kata  the little boy lagi.”Bagaimana cara membuatnya? Rengek sang  little boy. “Dan warnanya bagaimana? “warnanya yang kamu sukai?jawab sang guru. Kemudian gurunya bertanya”Jika semua siswa membuat gambar yang sama,warna yang sama,apakah saya tahu siapa membuat apa,mana punyamu dan mana punya temanmu? Kata gurunya lagi.”Saya tidak tahu” jawab the little boy. Dan anak itu akhirnya membuat bunga berwarna pink dengan batang berwarna kuning dan bunga berwarna biru.sang anak kecil itu menyukai sekolahnya yang baru,meski tidak memiliki daun pintu!”.
Dari dua cerita tersebut diatas, kita menyaksikan sekolah-sekolah yang  telah kehilangan sifat kekanak-kanakannya dewasa ini.  Sekolah bukan lagi menjadi tempat terindah kedua bagi anak,melainkan kadang berubah menjadi penjara yang mematikan kreatifitas yang ada di dalamnya. Anak-anak menjadi robot yang dikendalikan oleh sebuah system kaku bernama kurikulum. Pendidiknya berlomba-lomba mengejar target –target akademik yang kadang menisbihkan sifat kekanakan anak-anak yang butuh bermain, sentuhan,kasih sayang dan gurauan. Akibat dari tidak banyak tersentuhnya sisi-sisi emotional semacam ini sekolah menjadi kering bahkan menjadi tempat tidak nyaman. Konon untuk melihat apakah sekolah itu menyenangkan atau tidak, pengujinya sangat sederhana. Lihatlah respon yang diberikan oleh anak didik saat bel panjang tanda pelajaran selesai berbunyi. Jika bunyi bel itu dibarengi dengan tepuk tangan atau  luapan kegembiraan lainnya, bisa dipastikan kelasnya tidak nyaman alias menjemuhkan,atau pada tahap yang lebih ekstrim kelas yang memenjarakan. Pengalaman seorang kolega berikut di pendidikan Jepang mungkin bisa menginspirasi kita.
Sebentar lagi kita akan menyaksikan euphoria anak-anak tersebut sekeluarnya dari sekolah (kelulusan UNAS). Pawai bermotor, aksi corat-coret, tawuran, bahkan aksi non etis lainnya yang banyak kita temui di seantero Indonesia. Mereka seolah-olah menjadi bringas, tak beraturan dan dalan kasus tertentu tidak beradab Itulah ekspresi kegembiraan mereka setelah terkungkung dalam “penjara “ bernama kelas. Memang ini bukan semata-mata akibat pendidikan di sekolah, namun peran sekolah tidak kecil adanya dalam pembentukan karakter anak tersebut.
Masihkah kita berdiam diri dalam kenyataan pahit ini? Relakah kita jika anak-anak didik kita hanya menjadi penebar terror macam gang motor, penjual sensualitas berbalut video porno. Saya yakin hati kecil kita menangis,melihat semua kebobrokan ini. Kitalah yang diharapkan menjadi pilar utama perubahan itu,kitalah yang menjadi harapan terakhir bangkitnya generasi-generasi emas yang akan membawa kejayaan majapahit dan sriwijaya ke pentas dunia. Kitalah yang memiliki peluang besar untuk mengukir sejarah besar itu kemudian hari. Ya,dari prilaku dan kepengasuhankitalah anak-anak bringas dan tidak berbudaya itu akan kembali kepangkuan pendidikan yang sebenarnya: menumbuhkan kesadaran dan kemuliaan budi pekerti.Semoga kita bisa menjadi contoh yang baik dari generasi yang banyak harinya diisi oleh kegalauan akan karut marutnya bangsa ini. Semoga kita bisa menjadi contoh nyata,saat mereka kehilangan pegangan dan tauladan oleh keganasan prilaku tak bermoral dan korup para pemimpin negeri ini. Dan berbanggalah,karena kitalah yang dinanti perannya untuk melahirkan generasi emas bagi Indonesia yang lebih baik. Bangkitlah guruku,selama mentari terbit di ufuk timur kita selalu tersenyum penuh harapan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing Camp