Kisruh Kebijakan Pendidikan Profesi Guru
Anda tentu pernah mendengar wacana tentang Pendidikan
Profesi Guru, bukan? Ya, dapat
dipastikan bahwa semua guru, terutama yang saat ini masih menjabat sebagai
tenaga pengajar honorer, tentunya mengetahui akan hal ini. Bagaimana
tidak, Pendidikan
Profesi Guru merupakan sebuah program
baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus diikuti oleh semua guru
guna meningkatkan penguasaan kompetensi guru. Bahkan, menurut wacana yang
bersumber dari portal dikti, mulai 2013 nanti, salah satu syarat untuk menjadi
guru PNS adalah dengan memiliki sertifikat lulus Pendidikan Profesi Guru.
Dengan program tersebut, ke depannya semua lulusan
sarjana pendidikan (S.Pd) akan bersaing dengan mereka yang notabene merupakan
sarjana ilmu murni. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9
Undang-undang Guru dan Dosen yang berbunyi: kualifikasi akademik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau
program diploma empat, menjadikan pendidikanprofesi guru yang diakui sebagai profesi khusus juga terbuka
untuk sarjana nonkependidikan.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, setiap lulusan sarjana ilmu
murni yang memiliki potensi atau ilmunya lebih tinggi dari sarjana pendidikan,
boleh menjadi guru. Tujuannya tentu saja untuk memajukan kualitas pendidikan
Indonesia yang selama ini diisi oleh guru-guru yang kualitasnya rendah. Selain
itu, kebijakan ini pun dilakukan guna mendukung cita-cita bangsa dalam
mewujudkan generasi yang cerdas.
Sekilas, tujuan dari kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) sangatlah mulia, mewujudkan generasi yang cerdas. Namun,
yang kemudian dipertanyakan oleh banyak kalangan dari calon dan tenaga pendidik
adalah “Sudah benarkah kebijakan tersebut?”
Melihat tanggapan dan reaksi di lapangan, khususnya yang datang
dari kelompok mahasiswa keguruan terkait niatannya menggugat PPG ke Mahkamah
Konstitusi MK, tentu ada yang salah dengan kebijakan tersebut. Lalu, apa
sebenarnya yang dianggap salah oleh para mahasiswa keguruan dan guru terkait
kebijakan PPG tersebut?
Jika pemerintah merasa bahwa kebijakan itu sesuai dengan
Undang-undang Guru dan Dosen, mungkin mereka benar. Namun, terdapat beberapa
hal mendasar yang sepertinya harus dikritisi bersama menyangkut kebijakan PPG
ini.
Pertama, sesuai hakikat pendidikan, guru merupakan
profesi istimewa yang dituntut tidak hanya mampu mengajar, tetapi juga harus
bisa mendidik dan menguasai empat kompetensi
guru (pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional). Keempat kompetensi tersebut baru bisa dikantongi sarjana keguruan
setelah mereka menempuh studi selama 4 tahun, itupun masih harus terus diasah.
Dari kenyataan itu saja, bagaimana mungkin seorang lulusan sarjana ilmu murni
yang hanya mengikuti PPG selama satu tahun, kemudian bisa mengikuti CPNS guru?
Selain itu, mungkinkah potensi mereka terkait keempat kompetensi guru bisa
disejajarkan dengan lulusan sarjana keguruan? Mustahil.
Kedua, hal yang juga perlu dikritisi adalah tentang keberadaan
jurusan kepandidikan dan non-kependidikan. Apa fungsi pembedaan kedua jurusan
tersebut jika kemudian lulusannya dipandang sama? Lagi-lagi, ini bukan karena
lulusan keguruan merasa “takut” bersaing dengan lulusan ilmu murni, melainkan
lebih kepada hakikat pendidikan. Guru jangan hanya bisa mengajar, tetapi harus
pula mendidik. Mengajar dan mendidik ini merupakan sesuatu yang berbeda dan
tidak mungkin disamaratakan.
Semua orang, termasuk masyarakat umum hingga lulusan sarjana
lulusan non-kependidikan bisa mengajar asalkan memiliki referensi yang akan
diajarkan berupa buku. Tapi, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang bisa
mendidik. Dari segi potensi dan kedalama ilmu, sarjana lulusan non-kependidikan
mungkin ada lebih tinggi, namun apakah mereka tahu bagaimana cara membuat
rencana pelaksanaan pembelajaran, bagaimana cara menyampaikan pembelajaran yang
inovasi, bagaimana cara pembelajaran triple multi, dan bagaimana karakteristik
perkembangan peserta didik? Sekali lagi, tenaga pendidik bukanlah pengajar yang
hanya bisa mentransfer ilmu. Tenaga pendidik adalah motivator dan fasilitator
untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan berkarakter.
Jika sarjana pendidikan saja harus menguasai semua hal tersebut
selama 4 tahun, apakah adil jika sarjana nonkependidikan melalui PPG selama 1
tahun, kemudian bisa menjadi guru? Jika pemerintah beralasan bahwa kualitas
lulusan sarjana pendidikan masih kurang, PPG ini sepantasnya dijadikan media
pembelajaran untuk memperbaiki kekurangan mereka, bukan lantas meragukan dan
cenderung menyudutkan kualitas sarjana pendidikan. Di lapangan, banyak sekali
guru yang pandai dari sisi keilmuan, tetapi mereka kurang bisa menyampaikannya,
sehingga peserta didik tetap tidak bisa mendapatkan ilmu. Jadi, bukankah lebih
baik jika PPG ini diperuntukan bagi guru-guru seperti itu?
Demikianlah pembahasan seputar kebijakan Pendidikan Profesi Guru yang
masih menjadi perdebatan hangat berbagai kalangan. Semoga, sebelum kebijakan
ini benar-benar diterapkan, pemerintah bisa lebih peka terhadap hakikat
pendidikan dan profesi guru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar