href='http://www.blogger.com/favicon-image.g?blogID=5195730972603891725' rel='icon' type='image/x-icon'/>

Selamat Datang/Wilujeng Sumping

Selamat datang di blog ini semoga mampu memberi manfaat bagi kita semua

Memory in al-fatah

Album Foto Sdit Al Fatah Slideshow: Nana’s trip from Bekasi, Java, Indonesia to Jakarta was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Minggu, 14 April 2013

KISRUH TENTANG PROFESI GURU


Kisruh Kebijakan Pendidikan Profesi Guru
Posted by Dian Sukmawat
Anda tentu pernah mendengar wacana tentang Pendidikan Profesi Guru, bukan? Ya, dapat dipastikan bahwa semua guru, terutama yang saat ini masih menjabat sebagai tenaga pengajar honorer, tentunya mengetahui akan hal ini. Bagaimana tidak, Pendidikan Profesi Guru merupakan sebuah program baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus diikuti oleh semua guru guna meningkatkan penguasaan kompetensi guru. Bahkan, menurut wacana yang bersumber dari portal dikti, mulai 2013 nanti, salah satu syarat untuk menjadi guru PNS adalah dengan memiliki sertifikat lulus Pendidikan Profesi Guru.
Dengan program tersebut, ke depannya semua lulusan sarjana pendidikan (S.Pd) akan bersaing dengan mereka yang notabene merupakan sarjana ilmu murni. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9 Undang-undang Guru dan Dosen yang berbunyi: kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat, menjadikan pendidikanprofesi guru yang diakui sebagai profesi khusus juga terbuka untuk sarjana nonkependidikan.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, setiap lulusan sarjana ilmu murni yang memiliki potensi atau ilmunya lebih tinggi dari sarjana pendidikan, boleh menjadi guru. Tujuannya tentu saja untuk memajukan kualitas pendidikan Indonesia yang selama ini diisi oleh guru-guru yang kualitasnya rendah. Selain itu, kebijakan ini pun dilakukan guna mendukung cita-cita bangsa dalam mewujudkan generasi yang cerdas.
Sekilas, tujuan dari kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) sangatlah mulia, mewujudkan generasi yang cerdas. Namun, yang kemudian dipertanyakan oleh banyak kalangan dari calon dan tenaga pendidik adalah “Sudah benarkah kebijakan tersebut?”
Melihat tanggapan dan reaksi di lapangan, khususnya yang datang dari kelompok mahasiswa keguruan terkait niatannya menggugat PPG ke Mahkamah Konstitusi MK, tentu ada yang salah dengan kebijakan tersebut. Lalu, apa sebenarnya yang dianggap salah oleh para mahasiswa keguruan dan guru terkait kebijakan PPG tersebut?
Jika pemerintah merasa bahwa kebijakan itu sesuai dengan Undang-undang Guru dan Dosen, mungkin mereka benar. Namun, terdapat beberapa hal mendasar yang sepertinya harus dikritisi bersama menyangkut kebijakan PPG ini.
Pertama, sesuai hakikat pendidikan, guru merupakan profesi istimewa yang dituntut tidak hanya mampu mengajar, tetapi juga harus bisa mendidik dan menguasai empat kompetensi guru (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Keempat kompetensi tersebut baru bisa dikantongi sarjana keguruan setelah mereka menempuh studi selama 4 tahun, itupun masih harus terus diasah. Dari kenyataan itu saja, bagaimana mungkin seorang lulusan sarjana ilmu murni yang hanya mengikuti PPG selama satu tahun, kemudian bisa mengikuti CPNS guru? Selain itu, mungkinkah potensi mereka terkait keempat kompetensi guru bisa disejajarkan dengan lulusan sarjana keguruan? Mustahil.
Kedua, hal yang juga perlu dikritisi adalah tentang keberadaan jurusan kepandidikan dan non-kependidikan. Apa fungsi pembedaan kedua jurusan tersebut jika kemudian lulusannya dipandang sama? Lagi-lagi, ini bukan karena lulusan keguruan merasa “takut” bersaing dengan lulusan ilmu murni, melainkan lebih kepada hakikat pendidikan. Guru jangan hanya bisa mengajar, tetapi harus pula mendidik. Mengajar dan mendidik ini merupakan sesuatu yang berbeda dan tidak mungkin disamaratakan.
Semua orang, termasuk masyarakat umum hingga lulusan sarjana lulusan non-kependidikan bisa mengajar asalkan memiliki referensi yang akan diajarkan berupa buku. Tapi, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang bisa mendidik. Dari segi potensi dan kedalama ilmu, sarjana lulusan non-kependidikan mungkin ada lebih tinggi, namun apakah mereka tahu bagaimana cara membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, bagaimana cara menyampaikan pembelajaran yang inovasi, bagaimana cara pembelajaran triple multi, dan bagaimana karakteristik perkembangan peserta didik? Sekali lagi, tenaga pendidik bukanlah pengajar yang hanya bisa mentransfer ilmu. Tenaga pendidik adalah motivator dan fasilitator untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan berkarakter.
Jika sarjana pendidikan saja harus menguasai semua hal tersebut selama 4 tahun, apakah adil jika sarjana nonkependidikan melalui PPG selama 1 tahun, kemudian bisa menjadi guru? Jika pemerintah beralasan bahwa kualitas lulusan sarjana pendidikan masih kurang, PPG ini sepantasnya dijadikan media pembelajaran untuk memperbaiki kekurangan mereka, bukan lantas meragukan dan cenderung menyudutkan kualitas sarjana pendidikan. Di lapangan, banyak sekali guru yang pandai dari sisi keilmuan, tetapi mereka kurang bisa menyampaikannya, sehingga peserta didik tetap tidak bisa mendapatkan ilmu. Jadi, bukankah lebih baik jika PPG ini diperuntukan bagi guru-guru seperti itu?
Demikianlah pembahasan seputar kebijakan Pendidikan Profesi Guru yang masih menjadi perdebatan hangat berbagai kalangan. Semoga, sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan, pemerintah bisa lebih peka terhadap hakikat pendidikan dan profesi guru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing Camp