Pendidikan
sebagai Peternakan Bebek
(Prof. Dr. Bambang
Sugiharto, Guru Besar di Fakultas Filsafat UNPAR)
Sesungguhnya selalu
ada perasaan malas namun sekaligus antusias manakala kita mesti bicara soal
pendidikan di negeri ini. Malas oleh sebab tentang hal itu kita sudah banyak
memperbincangkannya, sementara dalam kenyataan sistem pendidikan tak pernah
berubah juga. Antusias oleh sebab segala hiruk-pikuk kekerasan dan berbagai
persoalan konkrit di negeri ini hari ini sesungguhnya sebagian berakar dalam
sistem pendidikan yang memang sakit juga.
Etos kerja yang
payah—terutama di institusi-institusi negeri—cara berpikir yang dangkal,
kelangkaan kreativitas, ketakmampuan berdisiplin, ketakmampuan menyelesaikan
persoalan, berbagai bentuk pertengkaran sosial-politik yang naif, hingga
korupsi, kolusi dsb. yang terus saja mendera kita, adalah produk dari tidak
berhasilnya sistem pendidikan melepaskan kita dari struktur mentalitas budak.
Memang tidak mudah.
Kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia
yang terjajah. Pendidikan awal yang kita kenyam adalah pendidikan untuk
melahirkan pegawai administratif murah bagi pemerintah Belanda (meski Belanda
menganggapnya sebagai tindakan “balas-budi” terhadap Indonesia). Sedang setelah
merdeka pun pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde
Baru lebih kentara lagi bahwa pendidikan diperlakukan sebagai sarana
pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status
quo. Serentak pula ia merupakan pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa
kapitalisme global. Demikian sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian
mentalitas kuli secara sistematis.
Ada berbagai sistem
pendidikan yang telah ditawarkan para pemikir menuju arah yang lebih ideal,
sejak para filsuf Yunani kuno hingga para pemikir kontemporer macam Freire atau
Illich dengan tendensi anarkisnya. Semua itu umumnya sangat ditentukan oleh asumsi
dasar di belakangnya yang berbeda-beda, oleh worldview ontologisnya (dunia dan
hidup ini apa, serta manusia ini siapa). Alam berpikir feodal dan otoriter
serta pola kolektivisme di Indonesia masih sangat dominan. Dalam kerangka
seperti ini kiranya masih kuat pula anggapan dasar bahwa pendidikan adalah
proses menyiapkan individu untuk menjadi anggota masyarakat dan untuk masuk ke
dalam pola struktur-struktur yang ada. Dengan kata lain, pendidikan masih
dilihat dalam kerangka proses “sosialisasi”, penjinakan individu ke dalam
kelompok dan struktur status quo.
Konteks konkrit
Indonesia macam di atas itu mengesampingkan fungsi lain yang penting dalam
pendidikan, yaitu bahwa pendidikan juga mestinya memampukan individu
mengubah/mentransformasi struktur-struktur yang ada, terutama ketika
struktur-struktur itu telah berubah menjadi jaringan kanker ganas yang tak
disadari, sementara masyarakat terasa amat stagnan seperti tak lagi punya
cita-cita. Namun untuk menjalankan fungsi kritis transformatif ini, mau tak
mau, pendidikan harus berfokus pada manusia sebagai individu yang mandiri.
Segala bentuk interaksi sosial kolektif mesti mendukung kemandirian individu
ini. Memang paradoks. Tapi negeri ini membutuhkan hal itu. Telah terlampau lama
di negeri ini tak ada individu. Satu-satunya individu yang eksis hanyalah raja
atau presiden, selebihnya adalah para abdi-dalem yang hanya eksis sejauh sang
Raja memperkenankannya. Kondisi kemanusiaan Indonesia sudah selalu dibentuk
oleh sejarah penjajahan, baik oleh bangsa asing atau pun oleh bangsa sendiri.
Kalau pun figur raja atau presiden kelak sudah bukan lagi yang tertinggi, maka
kolektivitaslah yang akan menggantikannya, sekurang-kurangnya untuk sementara.
Kolektivitas adalah wajah anonim, namun bisa sangat berkuasa menentukan segala
pola pikir dan pola tindak. Selagi Indonesia belum mampu melahirkan
individu-individu yang kuat dan mandiri, kolektivitas alias “massa” inilah yang
akan menjadi monster utama. Dan sejauh itu pula agaknya pendidikan masih akan
berpola ”sosialisasi” macam kegiatan peternakan bebek.
Kolektivitas itu
bisa tampil dalam berbagai wajah: suku, agama, partai politik, ideologi,
profesi, dst. Celakanya wajah-wajah ini kini justru sangat memikat oleh sebab
hari-hari ini situasi dirasakan teramat merdeka secara mendadak hingga
melahirkan banyak kebingungan dan kegamangan. Para abdi-dalem tiba-tiba
mendapat peluang untuk menjadi individu sementara sebenarnya sama sekali tak
siap untuk itu dan tak tahu bagaimana mesti berperilaku di alam bebas ini.
Kebingungan ini akan sangat menggoda untuk cepat-cepat cari aman: berlindung
lagi pada kelompok, alias timbulnya neo-tribalisme. Dalam suasana
neo-tribalisme ini segala pola pendidikan transformatif kritis justru mudah
dicurigai. Tapi barangkali ini tak menjadi soal benar, bila kita memang merasa
lebih tenteram hidup sebagai bebek-bebek dalam sebuah peternakan yang penuh
harmoni ini, apalagi bila harmoni status quo ini diyakini sebagai harmoni
ketimuran asli.
Ralpf Waldo Emerson
suatu kali bilang bahwa bila tak ada individu yang mampu berpikir dan bersikap
mandiri, maka kelompok manusia akan mudah berubah menjadi kawanan binatang buas
atawa kumpulan atom tak bernyawa , yang biasa kita sebut “massa”. Di sisi lain,
kalau pun situasi saat ini telah memungkinkan tampilnya individu, maka model
pertama yang segera dijadikan acuan identifikasi umumnya adalah individu
penindasnya dahulu. Memang ironis. Individu-individu akan bermunculan sebagai
penindas-penindas kecil atau, sebaliknya, sebagai orang-orang yang terampil
menutupi ketakmampuannya untuk mandiri dengan menekankan terus-menerus perlunya
hidup kelompok melalui omongan-omongan yang tampak elegan.
Pendidikan yang
kritis dan transformatif akan memampukan individu mengenali struktur-struktur
terselubung yang menindas, juga struktur yang diam-diam bekerja dalam dirinya
sendiri; memampukannya terus-menerus membebaskan diri dari struktur-struktur
itu. Ini bukan hal yang terlampau utopis, oleh sebab kuncinya adalah: kemampuan
mengartikulasikan diri dan realitas secara bebas. Untuk itu pentinglah bahwa
kurikulum bukan hanya “tentang” dunia dan kehidupan, melainkan terutama “dari”
dan “dalam” dunia dan kehidupan yang konkrit ini. Maka segala bentuk
pengungkapan persoalan konkrit alias “problem posing” menjadi salah satu
kuncinya untuk bisa memasuki wilayah “problem solving”. Pada titik inilah
artikulasi seni tentang masalah pendidikan sangat relevan. Logika imaji dan
rasa dari wilayah seni biasanya mampu mengangkat persoalan dari sudut
kekonkritan pengalaman. Dan ini persis yang kita butuhkan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar