href='http://www.blogger.com/favicon-image.g?blogID=5195730972603891725' rel='icon' type='image/x-icon'/>

Selamat Datang/Wilujeng Sumping

Selamat datang di blog ini semoga mampu memberi manfaat bagi kita semua

Memory in al-fatah

Album Foto Sdit Al Fatah Slideshow: Nana’s trip from Bekasi, Java, Indonesia to Jakarta was created by TripAdvisor. See another Jakarta slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Jumat, 12 April 2013

PENDIDIKAN LAKSANA BETERNAK BEBEK


Pendidikan sebagai Peternakan Bebek

(Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar di Fakultas Filsafat UNPAR)

Sesungguhnya selalu ada perasaan malas namun sekaligus antusias manakala kita mesti bicara soal pendidikan di negeri ini. Malas oleh sebab tentang hal itu kita sudah banyak memperbincangkannya, sementara dalam kenyataan sistem pendidikan tak pernah berubah juga. Antusias oleh sebab segala hiruk-pikuk kekerasan dan berbagai persoalan konkrit di negeri ini hari ini sesungguhnya sebagian berakar dalam sistem pendidikan yang memang sakit juga.

Etos kerja yang payah—terutama di institusi-institusi negeri—cara berpikir yang dangkal, kelangkaan kreativitas, ketakmampuan berdisiplin, ketakmampuan menyelesaikan persoalan, berbagai bentuk pertengkaran sosial-politik yang naif, hingga korupsi, kolusi dsb. yang terus saja mendera kita, adalah produk dari tidak berhasilnya sistem pendidikan melepaskan kita dari struktur mentalitas budak.

Memang tidak mudah. Kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia yang terjajah. Pendidikan awal yang kita kenyam adalah pendidikan untuk melahirkan pegawai administratif murah bagi pemerintah Belanda (meski Belanda menganggapnya sebagai tindakan “balas-budi” terhadap Indonesia). Sedang setelah merdeka pun pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde Baru lebih kentara lagi bahwa pendidikan diperlakukan sebagai sarana pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status quo. Serentak pula ia merupakan pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa kapitalisme global. Demikian sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian mentalitas kuli secara sistematis.

Ada berbagai sistem pendidikan yang telah ditawarkan para pemikir menuju arah yang lebih ideal, sejak para filsuf Yunani kuno hingga para pemikir kontemporer macam Freire atau Illich dengan tendensi anarkisnya. Semua itu umumnya sangat ditentukan oleh asumsi dasar di belakangnya yang berbeda-beda, oleh worldview ontologisnya (dunia dan hidup ini apa, serta manusia ini siapa). Alam berpikir feodal dan otoriter serta pola kolektivisme di Indonesia masih sangat dominan. Dalam kerangka seperti ini kiranya masih kuat pula anggapan dasar bahwa pendidikan adalah proses menyiapkan individu untuk menjadi anggota masyarakat dan untuk masuk ke dalam pola struktur-struktur yang ada. Dengan kata lain, pendidikan masih dilihat dalam kerangka proses “sosialisasi”, penjinakan individu ke dalam kelompok dan struktur status quo.

Konteks konkrit Indonesia macam di atas itu mengesampingkan fungsi lain yang penting dalam pendidikan, yaitu bahwa pendidikan juga mestinya memampukan individu mengubah/mentransformasi struktur-struktur yang ada, terutama ketika struktur-struktur itu telah berubah menjadi jaringan kanker ganas yang tak disadari, sementara masyarakat terasa amat stagnan seperti tak lagi punya cita-cita. Namun untuk menjalankan fungsi kritis transformatif ini, mau tak mau, pendidikan harus berfokus pada manusia sebagai individu yang mandiri. Segala bentuk interaksi sosial kolektif mesti mendukung kemandirian individu ini. Memang paradoks. Tapi negeri ini membutuhkan hal itu. Telah terlampau lama di negeri ini tak ada individu. Satu-satunya individu yang eksis hanyalah raja atau presiden, selebihnya adalah para abdi-dalem yang hanya eksis sejauh sang Raja memperkenankannya. Kondisi kemanusiaan Indonesia sudah selalu dibentuk oleh sejarah penjajahan, baik oleh bangsa asing atau pun oleh bangsa sendiri. Kalau pun figur raja atau presiden kelak sudah bukan lagi yang tertinggi, maka kolektivitaslah yang akan menggantikannya, sekurang-kurangnya untuk sementara. Kolektivitas adalah wajah anonim, namun bisa sangat berkuasa menentukan segala pola pikir dan pola tindak. Selagi Indonesia belum mampu melahirkan individu-individu yang kuat dan mandiri, kolektivitas alias “massa” inilah yang akan menjadi monster utama. Dan sejauh itu pula agaknya pendidikan masih akan berpola ”sosialisasi” macam kegiatan peternakan bebek.

Kolektivitas itu bisa tampil dalam berbagai wajah: suku, agama, partai politik, ideologi, profesi, dst. Celakanya wajah-wajah ini kini justru sangat memikat oleh sebab hari-hari ini situasi dirasakan teramat merdeka secara mendadak hingga melahirkan banyak kebingungan dan kegamangan. Para abdi-dalem tiba-tiba mendapat peluang untuk menjadi individu sementara sebenarnya sama sekali tak siap untuk itu dan tak tahu bagaimana mesti berperilaku di alam bebas ini. Kebingungan ini akan sangat menggoda untuk cepat-cepat cari aman: berlindung lagi pada kelompok, alias timbulnya neo-tribalisme. Dalam suasana neo-tribalisme ini segala pola pendidikan transformatif kritis justru mudah dicurigai. Tapi barangkali ini tak menjadi soal benar, bila kita memang merasa lebih tenteram hidup sebagai bebek-bebek dalam sebuah peternakan yang penuh harmoni ini, apalagi bila harmoni status quo ini diyakini sebagai harmoni ketimuran asli.

Ralpf Waldo Emerson suatu kali bilang bahwa bila tak ada individu yang mampu berpikir dan bersikap mandiri, maka kelompok manusia akan mudah berubah menjadi kawanan binatang buas atawa kumpulan atom tak bernyawa , yang biasa kita sebut “massa”. Di sisi lain, kalau pun situasi saat ini telah memungkinkan tampilnya individu, maka model pertama yang segera dijadikan acuan identifikasi umumnya adalah individu penindasnya dahulu. Memang ironis. Individu-individu akan bermunculan sebagai penindas-penindas kecil atau, sebaliknya, sebagai orang-orang yang terampil menutupi ketakmampuannya untuk mandiri dengan menekankan terus-menerus perlunya hidup kelompok melalui omongan-omongan yang tampak elegan.

Pendidikan yang kritis dan transformatif akan memampukan individu mengenali struktur-struktur terselubung yang menindas, juga struktur yang diam-diam bekerja dalam dirinya sendiri; memampukannya terus-menerus membebaskan diri dari struktur-struktur itu. Ini bukan hal yang terlampau utopis, oleh sebab kuncinya adalah: kemampuan mengartikulasikan diri dan realitas secara bebas. Untuk itu pentinglah bahwa kurikulum bukan hanya “tentang” dunia dan kehidupan, melainkan terutama “dari” dan “dalam” dunia dan kehidupan yang konkrit ini. Maka segala bentuk pengungkapan persoalan konkrit alias “problem posing” menjadi salah satu kuncinya untuk bisa memasuki wilayah “problem solving”. Pada titik inilah artikulasi seni tentang masalah pendidikan sangat relevan. Logika imaji dan rasa dari wilayah seni biasanya mampu mengangkat persoalan dari sudut kekonkritan pengalaman. Dan ini persis yang kita butuhkan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Amazing Camp