Lembaga Pendidikan "Pabrik Soft-Skill SDM", Kurikulum
2013 Apa Hebatnya?
oleh Muhammad Alwi pada 7 Januari 2013 pukul 10:14 ·
Selayang Pandang
Kadang
kita berfikir dan berkata bahwa, sebenarnya bangsa kita ini banyak orang
pandai, buktinya kita sering menjuarai olimpiade Matematika dan Fisika tingkat
dunia. Banyak orang yang lulus dengan sangat baik saat mengambil Doktor/Phd di
eropa dan AS. Tetapi apakah benar kita seperti itu? Dari data TIMMs dan PISA,
ternyata kita termasuk Negara ditingkat bawah. Memang ada 1, 2, beberapa anak
hebat, tetapi kemajuan, kehebatan sebuah Negara, itu ditentukan oleh sekian
banyak orang, kalau tidak rata-rata orang. Disinilah kita mesti bertanya;
Proyek Yohanes Surya itu untuk apa?
Sekedar
contoh, walau data ini cukup jadul (lama). GDP (Gross Domestic Product), AS
(7.100 Milyar $), Jepang (4.963,6), Indonesia (190,1), Saudi (133,5), Singapura
(79,8), Malaysia (78,3), Mitsubishi (181,5), Ithocu (169,2), General Motor
(168,8), Sumitomo (167,5), AT&T (79,6) (data tahun 1995) Sumber: Donald A,
Ball & Wendell H. McCulloch, "International Business, 7th ed".
2000, p 17. Apakah penyebab ini semua? Mengapa? Salah-satu factor terpenting
dalam kemajuan semuah Negara adalah factor SDM (sumber daya manusia),
soft-skill. Dan pabrik, alat produksi soft skill (SDM) yang paling besar adalah
sekolah dan guru. Karenanya bila ada masalah dalam sebuah bangsa, maka sekolah,
pendidikan dan guru yang akan dikoreksi paling awal. Karena kesalahan
pemimpin-pun bisa dirunut dan diarahkan pada kesalahan pencetakan awal yaitu
lembaga pendidikan (sekalipun kita semua sepakat….tidak mesti sekolah, dan
lembaga pendidikan saja yang mesti disalahkan).
Karena
itulah lumrah dan masuk akal bila, karena berbagai hal promlematika bangsa ini,
maka kurikulum yang merupakan blue-print jalannya sebuah lembaga pendidikan
(sekolah) perlu dikoreksi bahkan diubah.
Kompenen inti Perubahan Kurikulum KTSP ke 2013 (Singkat)
Elemen
Perubahan yang diharapkan dari Kurikulum KTSP (Kurikulum) 2006 ke Kurikulum
2013 meliputi 3 Aspek; Aspek Lulusan :
Adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aspek Mata Pelajaran(Isi) : Kompetensi yang
semula diturunkan dari matapelajaran berubah menjadi matapelajaran dikembangkan
dari kompetensi. Aspek Pendekatan :
SD, SMP, SMA (Tematik Integratif dalam Semua Pelajaran), Vokasional (SMK).
Struktur
Kurikulum (Mata Pelajaran dan Alokasi Waktu) (ISI), ada perubahan yaitu SD
berubah jumlah pelajarannya dari 10 menjadi 6 dan Jam pelajaran per minggu naik
4 jam/minggu (karena perubahan pendekatan pembelajaran). SMP Jumlah mata
pelajaran turun dari 12 ke 10 Mapel. Jumlah jam pelajarannnya bertambah 6 jam
per minggu-ny (karena perubahan pendekatan pembelajaran). SMA cukup menarik ada
MP pilihan dan MP wajib. Ada pengurangan MP yang wajib diikuti siswa, dan ada
tambahan 1 jam pelajaran per minggunya. Di SMK, ada tambahan yang sangat banyak
dalam jenis keahlian kebutuhan yaitu 6 program keahlian, 40 bidang keahlian,
121 kompetensi keahlian. Sementara untuk ektrakulikuler tambahan Pramuka adalah
ekstra-wajib disetiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA dan SMK).
Untuk
Jumlah jam pelajaran yang agak aneh adalah Mapel B. Indonesia di SD, 10
jam/minggu dan PPKN 6 jam/minggu. Dimana B. Indonesia (pelajaran membaca)
dimasukkan disana dengan semacam membaca IPA dan Membaca IPS.
Pendekatan
di SD/SMP, menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran [mengamati,
menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, mencipta] semua mata
pelajaran. Di SMA kemungkinan jurusan akan dihilangkan diganti dengan Mapel
wajib dan Mapel Pilihan dan Peminatan (Minat dan Bakat) dari Rapot atau lainnya
di SMP. (Disarikan dari draft Kurikulm
2013).
Hal-hal yang mesti Diperhatikan
Saya
tidak ingin mengomentari draft itu, walaupun banyak yang kritis dan was-was
dengan konsep diatas. Tetapi saya ingin menyampaikan dalam note saya ini;
Pertama: Karakter itu dominan bukan diajarkan,
tetapi teladan dan linkungan yang lebih dominan. Ranahnya bukan ranah Kognitif
dan Psiko-motor. Oleh karenanya maka, keinginan untuk pendidikan berkarakter,
harus ada perubahan paradiqma dari pengajaran (pemberian materi) ke arah
lainnya.
Kedua, yang perlu diingat oleh pembuat
kebijakan adalah, tema-tema, integrative, tematik, contektual dll, itu sudah
ada dikurikulum sebelum-sebelumnya hanya masalah ke-efektifan dalam
implementasinya di sekolah-sekolah yang kurang (atau malah tidak ada). Kalau
sekarang ada, ini bukan hal yang baru.
Ketiga, ada yang pernah bicara dengan saya
seperti ini. Mengapa Negara-mu tidak meng-adop kurikulum international untuk
pelajaran IPA/IPS yang itu ada secara international (standart-dunia)? Bukankah
AS, Eropa, Australia, Singapura punya team riset yang sangat baik, dan secara
investasi mereka mengeluarkan jumlah uang sangat banyak? Dengan seperti itu
atau meramunya. Anda tidak perlu buang-buang uang dengan buat kurikulum,
sosialisasi dst..dst yang memakan biaya sangat banyak (dan rawan korupsi).
Negara-negara itu sudah memiliki lesson-plan, slide-slide, animasi
dst..dst…untuk hal-hal itu. Anda tinggal terintegrasi kesana. Sekali lagi hanya
Mapel yang ada dan standart international. Saya berfikir itu masuk akal,
walaupun menyisakan pertanyaan…hemmmm.
Keempat, Menurut saya, Kurikulum kita baik-baik
saja (bukan berarti sudah ideal), masalahnya adalah di tingkat implementasi
dilapangan. Kita lihat kasus UN. Pemerintah memaksa….maka rakyat melawan dengan
“melakukan kucurangan”. Sayangnya pemerintah sangat lambat mengetahui detail
itu dan meresponnya. Sehingga sudah menjadi semacam paradiqma dan maind-set
sekolah dan guru. Sekarang Kecurangan dan harus mendapat nilai UN tinggi sudah
menjadi hal yang ‘semi-wajib’ disekolah sekolah. Itu tidak terjadi 7 atau 10 tahun
lalu.
Kita
mesti ingat; Persepsi tentang UN atau lainnya akan menentukan tindakan,
tindakan menjadi berulang akan menjadi kebiasaan (hal umum dst. Disinilah
akhirnya yang jujur jadi aneh dan tidak tahan dengan prestasi sekolahnya).
Kebiasaan menjadi karakter kita. dan karakter itu menentuakan nasib kita
selanjutnya dan dimasa depan.
Lihat
kasus RSBI, karena ingin meningkatkan daya saing dan berkemampuan bahasa asing
(Inggris). Dalam Implementasinya, dibuatlah sekedar kejar setoran, maka banyak
yang RSBI-RSBI-an, sama sekali tidak punya kesiaapan dan kelayakan. Setelah
dievaluasi, ketahuan bahwa sangat-sangat tidak berhasil kansep itu. Mangapa?
Apa yang salah? Apa kebijakan, aturan atau dalam wilayah implementasi?
Resep Obat, tergantung Diagnose Jenis Penyakit
Bangsa
kita sekarang sudah sedikit lebih maju, sebab Negara kita sudah sadar bahwa
kita sedang ‘sakit’. Kesadaran kita punya masalah itu penting, sebab dengan itu
kita akan mencari solusinya. Dan kita juga “mulai sadar” bahwa salah satu
penyembuhannya adalah peningkatan SDM. Tetapi masalahnya, resep, obat sebuah
penyakit tergantung diagnose penyebab penyakit itu. Bila diagnosanya salah,
maka semahal apapun obat yang dibeli, dan dikonsumsi, maka tidak akan
menyembuhkan penyakit itu kalau tidak malah menambah parah.
Dalam
manajemen ada unsur POAC (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling).
Kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan kita (dalam pendidikan dan kurikulum)
sebenarnya (menurut saya) bukan pada Planning dan Organizing, tetapi pada
masalah Actuating (yang isinya adalah Kepemimpinan dan Motivasi). Kurikulum mau
bagaimanapun, dirubah berapa kalipun tetap tidak ada artinya bila manusia-nya,
para guru-guru-nya, kepala Diknas, pengawas dan yang terkait. Ogah-ogahan,
tidak mau melaksanakan dan tidak termotivasi untuk melaksanakan. Akhirnya
yang terjadi adalah kejar laporan, kejar setoran, supaya daerahnya bagus dst.
Jadi
saya berfikir dan mengusulkan bahwa perubahan paradiqma, perubahan konsep
berfikir, motivasi dan leadership sangat-sangat penting dilakukan, dibuat,
diberikan buat guru-guru dan lembaga pendidikan.
Usulan-usulan
Komponen
terpenting dalam sukses-nya pendidikan adalah Siswa itu sendiri, Guru dan
Orang-tua/wali murid. Oleh karenanya ketiga komponen ini mesti ada upgrading
dalam masalah pendidikan dan psikologi pendidikan, anak dan pengajaran. Maka
saya mengusulkan;
Pertama, Guru semestinya diberikan
pelatihan-pelatihan motivasi, psikologi anak bukan sekadar pelatihan atau
workshop skill mengajar, teknis mengajar dan kebijakan-kebijan pemerintah.
Kedua, kepala sekolah mesti diajarkan, dilatih
dengan benar-benar dilatih tentang kepemimpinan. Pelatihan-pelatihan yang biasa
dilakukan diperusahaan. Bukan pelatihan-pelatihan dari DIKNAS baik Kabupaten
atau wilayah. Sebab mereka banyak urusan proyek, dana daripada isi dan
profesionalitas.
Ketiga, Wali murid. Parenting sekolah
semestinya harus diadakan tidak hanya tingkat TK/Paud dan SD. Tetapi juga SMP
dan SMA.
Ke-empat, disekolah wajib memiliki psikolog dan
motivator yang terintegrasi. Semacam dokter keluarga. Sehingga mereka punya
jam-jam wajib bertandang kesekolah-sekolah itu. Sebab Motivator dan psikolog
itu mampu memberikan soft skill dalam proses belajar-mengajar, khususnya
motivasi, niat baik, mapping potensi, kepribadian, minat dan bakat,
dst..dst.
Siapa
yang mesti membuat pelatihan itu semua? Sekolah sendiri, guru-guru sendiri.
Dari mana dana-nya. Dari iuran antar sekolah, dari komite, dari dana-dana
bantuan pemerintah dst. Sebab motivasi, niatan itu mengalahkan kemampuan
teknis, dalam hal implementasi dilapangan. Dan pemahaman mapping potensi,
psikologi anak akan mengefektifkan dalam proses belajar mengajar dan suksesnya
sebuah sekolah. Sukses yang benar-benar sukses, bukan sukses intertain, tetapi
mampu mengantarkan anak menjadi sukses yang sekaligus bahagia, SUCCESS and
HAPPY, ACHIEVABLE and WELL-BEING.
Wallahu
a’lam bi Al Shawab
La
haula walla Quwwata illa Billah
Muhammad Alwi
Trainer,
Pendidikan Positif (POSITIVE EDUCATION) dan Multiple Intelligence. Alumni UM-
Malang (Strategi Pendidikan), PPS Univ Brawijaya Malang (Human Resource
Manajemen), Sekarang study lanjut di Psychology Department.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar